Tuhan Tidaklah Satu?

Photo by Rock Staar on Unsplash

Satu bulan yang sungguh padat. Mungkin akan menarik jika saya mulai tulisan ini dengan pernyataan: Barangkali Tuhan memang tidak satu. Gagasan yang menarik ini datang dari sebuah kebaktian yang saya hadiri 2-3 tahun yang lalu. Ada seorang pendeta yang waktu itu mengkhotbahkan tentang trinitas. Sesi tanya jawab diberikan di akhir khotbah. Seorang bapak mengangkat tangannya dan bertanya kesamaan entitas Tuhan dari berbagai agama.

Dengan raut wajah memperhatikan, sang pendeta menimpali pertanyaan itu dengan yakin: keberadaan Tuhan diketahui dari semenjak manusia lahir, secara natural ia memerlukan sesuatu yang lebih besar (superior) darinya. Manusia di berbagai tempat dan masa terus mencarinya. Sedangkan pewahyuan akan Pribadi Tuhan, tidak diturunkan sekaligus, melainkan melintasi sejarah secara bertahap — ini bukti ke-Mahakuasa-an Tuhan. Motif dan pola ajaran sesat terus berubah, satu tereliminasi, timbul yang lain, begitu seterusnya, sedangkan pewahyuan yang berasal dari Tuhan, terus terjaga. Dengan ke-Mahakuasa-an itu, bagaimana mungkin beberapa pewahyuan yang berbeda secara konsisten terus muncul sepanjang sejarah? Kalau yang satu baik dan yang lain tidak, apakah berarti Tuhan turut campur tangan dalam menjaga kejahatan untuk tetap berada dalam dunia? Hal yang dapat menjelaskan itu dengan baik ialah: karena memang Tuhannya berbeda.

Deg! Pemahaman saya langsung berada di titik belok. Di satu sisi saya tidak yakin, tapi di sisi yang lain ada benarnya. Saya rasa anda juga perlu memikirkannya sendiri. Pernahkah ketika anda berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang beda agama, anda merasa bahwa kebaikan yang ia berikan adalah representasi dari kebaikan Tuhan anda, bukan Tuhan lawan bicara anda? Saya rasa itu lumrah karena saya pun demikian. Banyaknya intensitas interaksi tanpa sadar menanamkan kita suatu pemahaman: segala kebaikan itu dari Tuhan — Tuhan yang sama, hanya jalan dan brand yang berbeda. Namun apa betul memang begitu?

Sejujurnya saya sudah lama tidak terlalu mempedulikan itu, terlebih di tengah kondisi pandemi ini. Namun siapa sangka, baru-baru ini pemikiran itu muncul lagi karena beberapa hal yang saya jumpai secara beruntun dan tak terencana. Cukup sayang kalau kecamuk pemikiran ini terbuang begitu saja. Jadi sampai di manakah ujung pemahaman saya saat ini? Begini.

Lanjutkan membaca “Tuhan Tidaklah Satu?”

Menyangsikan Tuhan dan Peran Agama di Tengah Pandemi

Photo by Mauro Lima on Unsplash

Cukup sering saya mendapati bagaimana Tuhan menyelamatkan hidup seseorang, tetapi di mana Tuhan ketika semua orang sedang dalam bahaya?

Cukup sering saya mendapati bagaimana Tuhan menyelamatkan hidup seseorang, secara ajaib lepas dari kecelakaan atau bencana yang mahadahsyat, sembuh dari sakit penyakit yang mengerikan, atau mengalami relasi dan mental yang dipulihkan setelah melalui sesuatu yang berat. Ya, kisah dari seseorang atau beberapa individu. Namun, di mana Tuhan ketika semua orang sedang dalam bahaya, bagaimana Ia bertindak ketika banyak orang memerlukan bantuan-Nya? Sungguhkah keberadaan Tuhan itu nyata, apakah mungkin sosok itu hanya sebatas tataran konsep dalam alam bawah sadar manusia?

Ternyata bukan terorisme atau gerakan separatis yang memisahkan saya dari kehidupan bergereja, melainkan hal kecil bernama virus corona. Hari ini, sudah lebih dari satu tahun gereja tempat saya berjemaat menutup pintunya, tidak pernah ada lagi peribadatan di sana. Di tempat lain, beberapa gereja telah memberanikan diri untuk kembali menerima jemaat, dengan prokol yang menyibukkan dan tentu masih dengan risiko munculnya cluster kebaktian. Sama halnya dengan semua masjid yang kini telah menerima jamaah untuk 5 kali waktu berdoa, tapi tetap sama, ancaman penularan Covid tetap mengintai. Pertanyaannya, mengapa Tuhan tidak membuat pengecualian untuk hal-hal tersebut?

Konflik terhadap iman kian muncul waktu saya melihat tokoh-tokoh yang merasa dirinya dekat dengan Tuhan petentang-petenteng menantang Covid yang katanya konspirasi Yahudi. Nyatanya, tindakan semacam itu justru kian menyerukan bahwa keyakinan kepada Tuhan di masa pandemi ini adalah kebodohan, penyakit ini tidak dapat ditangkal hanya dengan rasa percaya dan penyerahan diri kita kepada Tuhan. Sungguh sebuah kontradiksi dari apa yang saya dengar selama ini: bahwa Tuhan akan menyelamatkan orang-orang yang percaya dan berserah kepada-Nya. Harus percaya dan berserah yang seperti apa agar saya dan orang-orang ini dapat selamat?

Lanjutkan membaca “Menyangsikan Tuhan dan Peran Agama di Tengah Pandemi”

Dilema Penistaan dan Pengampunan

random174
Kasus penodaan agama di Tanjung Balai. | Sumber: IDN Times.

Lagi-lagi masalah agama menjadi salah satu isu yang santer beredar di media-media dalam negeri. Kata penistaan kembali mencuat, kala seorang ibu beretnis dan beragama tertentu dikabarkan mengeluhkan suara azan di daerah tempat tinggalnya. Kronologi kejadian pun ditulis ulang dengan berbagai versi untuk melegitimasi masing-masing kubu yang memiliki kepentingan atas kasus ini. Ada yang mencoba memverifikasi bahwa ada kesalahpahaman yang terjadi, tapi di sisi yang lain tak sedikit pula yang mendukung keputusan Pengadilan Tinggi Medan agar kejadian serupa tidak mudah terulang di tempat dan kesempatan yang lain.

Memang seru untuk dibahas, apalagi kalau sudah ditambah dengan kontroversi dan konspirasi yang terus bermunculan. Namun maaf, saya tidak tertarik. Saya justru tergerak untuk menuliskan pemikiran saya mengenai hal yang lebih mendasar: apakah label penistaan layak disematkan oleh umat yang mengenal Tuhan sebagai sosok yang Maha Pengampun (meski setidaknya itu Tuhan versi saya)?

Agama dan politik ibarat dua sisi mata yang tidak terpisahkan sejak ribuan tahun lamanya. Tengok saja para Firaun yang mengidentikkan diri dengan titisan Ra, sang dewa matahari; Perang Salib — perang paling sentimental — yang dikompori oleh para tokoh yang membawa label agama; hingga Raja Airlangga yang dituliskan oleh salah satu warisan sejarah sebagai titisan Dewa Wisnu. Entah bagaimana kondisi aslinya, narasinya selalu saja sama. Lanjutkan membaca “Dilema Penistaan dan Pengampunan”

Teror Bom dan Sang Penghancur Citra Allah

Ilustrasi terorisme. | Sumber: Pixabay.

Lewat agama, manusia dapat belajar mengenal Tuhan. Masalahnya ialah, sebagian orang berusaha mengerti tentang Tuhan bukan dengan tujuan untuk menaati-Nya, melainkan untuk menggantikan-Nya.

Geram, marah, muak, sedih, semua perasaan itu bercampur dalam diri saya saat mendengar kabar bahwa ada bom yang meledak di Surabaya. Tragisnya, bom langsung terjadi di tiga tempat sekaligus. Ya, bukan satu melainkan tiga! Lebih sedih lagi ketika tahu bahwa semua ledakan tersebut terjadi di Gereja dan tepat di hari Minggu, kala umat Nasrani berkumpul untuk menyembah Tuhannya. Bukan di penjara tempat para pelanggar hukum berada, atau di lingkungan kumuh yang penuh dengan preman dan pecandu Narkoba. Melainkan Gereja, ya, itu tempat ibadah!

Ingin rasanya saya mencengkeram erat kepala pelaku dan mengantukkannya sekeras mungkin ke tanah sambil berteriak tepat di telinganya bahwa ia sedang memandangi wajah Tuhan yang salah! Tak masalah jika Tuhan kami berbeda, karena saya yakin tak ada satu pun entitas Tuhan yang menghendaki umat-Nya membunuh orang lain, apa pun alasannya. Andai Tuhan yang ia yakini benar-benar Maha Kuasa, maka oleh karena kuasa-Nya maka saya pun – meski berbeda – tetap merupakan karya tangan-Nya. Mana ada Tuhan yang menghendaki ciptaan-Nya sendiri dihancurkan? Lanjutkan membaca “Teror Bom dan Sang Penghancur Citra Allah”

Fenomena Religi dan Justifikasi

random89
Bhinneka Tunggal Ika. | Sumber: Nahdliyyah.org

Karena kita terlalu banyak bercakap dan berpendapat tentang apa yang kita alami, bukan apa yang kita mengerti.

Fenomena masyarakat hari ini sangat menarik untuk disimak. Selain dikarenakan berita isu politik sedang santer beredar di berbagai media massa, berbagai lapisan masyarakat juga tidak sungkan berbondong-bondong untuk memberi tanggapan. Baik itu mendukung salah satu kubu, atau seolah menjadi mediator dengan segala dalil dan pola pikir yang coba ia sajikan untuk menjadi pembenaran dari setiap argumen yang dibuat.

Sebenarnya fenomena kisruh media bukan kali pertama ini saja terjadi di bangsa kita. Beberapa tahun silam isu-isu lain seperti kenaikan harga BBM atau pemilihan Presiden selalu menyajikan hal yang menarik diulas oleh para kawan sebangsa. Namun kini, kelihatannya isu ekonomi sudah bukan menjadi materi yang penting untuk ditumbuhkembangkan media di tengah masyarakat – karena respon dari masyarakat yang beranjak menurun untuk hal ini.

Praktis, politik menjadi satu-satunya andalan yang digunakan berbagai pihak untuk meraih simpati serta keterlibatan publik dalam pergerakannya. Mengandalkan satu tema utama untuk menyetir perspektif masyarakat memang kurang kuat. Bukan tidak mungkin bahwa di masa mendatang tema ini menjadi barang lama seperti halnya isu fluktuasi harga barang dan jasa dalam negeri. Lanjutkan membaca “Fenomena Religi dan Justifikasi”