Blog

Liburan Nganggur Nan Berkesan

Photo by Clay Banks on Unsplash

Hari saya menuliskan ini adalah hari terakhir pekan libur lebaran usai. Tidak seperti liburan-liburan sebelumnya yang selalu hiruk pikuk dengan kegiatan atau pun kunjungan lain, liburan kali ini saya banyak menghabiskan waktu di rumah bersama dengan istri. Akhirnya, setelah menikah lebih dari satu tahun, baru kali ini saya kembali melakukan hobi masa kuliah saya, binge watching. Kali ini lebih spesial karena ditemani istri yang juga memiliki daya tahan nonton yang panjang.

Mengacu pada kondisi saya sekarang, menganggur adalah kondisi istimewa (walaupun saya juga bahagia bila diminta bekerja). Kondisi pekerjaan saya akhir-akhir ini memang cukup menyita waktu dan membuat saya rutin overtime. Selintas pikiran kapan bisa jeda acapkali muncul — dan ternyata inilah waktunya. Apalagi yang spesial di liburan kali ini bukan sebatas kondisi rehat secara paripurna belaka, tetapi satu serial drama Korea yang saya nikmati. Ya, saya adalah penyuka drakor dari masa sekolah, sekitar SMP, hanya tidak seadiksi itu.

Lanjutkan membaca “Liburan Nganggur Nan Berkesan”

Plat Nomor Kebanyakan Digit

Sebagai negara yang tidak terlalu memerhatikan transportasi publik di tengah perkembangan teknologi, sudah pasti pelarian masyarakat adalah transportasi pribadi. Sebetulnya hal ini tidak terlalu masalah mengingat Indonesia adalah negara tropis dengan rentang suhu hidup yang tidak terlalu ekstrem. Naik motor sepanjang tahun sudah pasti tidak masalah, paling berat kalau hujan angin saja, selebihnya aman. Dari pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak ini, kepemilikan kendaraan bermotor juga sudah berubah menjadi kebutuhan primer. Tak pelak, jumlah kendaraan bermotor di negara Indonesia terus naik setiap tahunnya secara signifikan.

Saya memantau ada satu masalah yang muncul dari kenaikan kendaraan bermotor ini, yakni pelabelan plat nomor. Dengan masih besarnya persentase warga dengan paham nasionalisme sempit yang antipati terhadap kolonialisme Belanda, cukup mengejutkan kalau tidak banyak yang tahu bahwa pelabelan kode daerah kendaraan bermotor di Indonesia itu masih bawaan kompeni — yang berarti sudah mendekati seabad lalu. Membandingkan kondisi sekarang dengan 100 tahun lalu tentu amat tidak relevan, apalagi tentang kendaraan bermotor. Pemerintah (melalui Polri) sendiri sudah mencoba merevisi penomoran lewat Perpol No. 7 tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, tetapi kurang signifikan.

Lanjutkan membaca “Plat Nomor Kebanyakan Digit”

Kritik Lini Masa Pemilu

Photo by Hobi industri on Unsplash

Di tahun yang sarat politik ini pemerintah Republik Indonesia masih belum membuat terbosan signifikan terkait pelaksanaan Pileg yang dibarengkan dengan Pilpres. Memang untung secara dana dan kesederhanaan, tetapi menyadari bahwa eksekutif dan legislatif adalah entitas yang berbeda, membarengkannya justru menutup urgensi salah satunya. Kalau dalam terminologi sepak bola seperti beli pemain bintang dan lapis dua bersamaan, satunya kena sorot banyak, yang lain jadi berita sambil lalu.

Saat artikel ini mulai ditulis, Pemilu 2024 masih akan terjadi beberapa hari ke depan. Menyisakan catatan kelam dari Pemilu sebelumnya, lantaran meninggalnya 800 orang petugas KPPS, yang disinyalir akibat kelelahan meregulasi 5 jenis surat suara dalam hari yang sama. Melihat realita ini, rasanya cukup banyak sisi masuk akal untuk Pileg dipisahkan dengan Pilpres. Jadi, apa saja?

1. Memperbesar spotlight Pileg

Sejak mulai dilakukan serentak dari 2019, tidak bisa dipungkiri bahwa Pilpres lebih seksi dibandingkan Pileg. Secara natural, manusia lebih mampu mengakomodasi pilihan yang terbatas. Sama halnya dengan pilih menu di restoran yang baru pertama kali kita kunjungi, kita jadi bingung bila restoran tersebut menawarkan 100 menu. Kita cenderung nyaman mendatangi restoran dengan 20 menu yang serumpun, seperti rumah makan padang atau warung pecel lele.

Memisahkan Pileg dengan Pilpres akan meningkatkan kadar konsentrasi masyarakat serta panitia penyelenggara. Melihat fakta bahwa banyak masyarakat Jawa Barat yang cukup kaget dengan pencalonan komedian kawakan Alfiansyah atau akrab disapa Komeng, menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu siapa saja kandidat ada. Memang cukup banyak caleg yang mempromosikan diri dengan baliho di sana-sini, tapi masih belum cukup. Hanya kandidat berduit atau banyak koneksi yang bisa melakukannya. Bagaimana dengan yang berkualitas tapi tidak cukup tajir?

Lanjutkan membaca “Kritik Lini Masa Pemilu”

Teladan dan Keseimbangan antara Kata dan Perbuatan

Pada kebaktian Minggu ini (29/10), saya diingatkan akan satu hal yang cukup menarik. Sang pendeta mengungkit satu frase yang cukup familiar, no action talk only atau NATO. Umumnya, label ini ditujukan pada seseorang yang tidak melakukan hal-hal yang ia sendiri katakan, atau sosok dengan bualan idealisme, tetapi idealisme itu tidak tercermin dari kehidupannya.

Photo by Jose Figueroa in Unsplash

Orang tua menjadi sosok yang cukup rawan diberikan label NATO. Bukan tanpa alasan, orang tua adalah individu yang akrab dengan nasihat. Namun tak jarang, ada beberapa di antaranya yang hanya memberikan wejangan baik pada sang buah hati, tapi tanpa sadar hal itu pun dilanggarnya sendiri. Hal-hal semacam ini yang membuat orang tua menjadi tidak didengar oleh anak, atau bahkan lebih parah lagi, anak bertumbuh menjadi pribadi yang tidak berintegritas, sebagaimana yang ditunjukkan oleh orang tuanya.

Lanjutkan membaca “Teladan dan Keseimbangan antara Kata dan Perbuatan”

Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden RI Seharusnya

Memasuki dunia profesi, kita tentu akrab dengan persyaratan yang harus dimiliki seseorang sebelum bergabung ke suatu institusi untuk menempati posisi tertentu. Semakin tinggi dan strategis posisinya, maka semakin banyak syarat yang diberikan oleh institusi tersebut. Bukan tanpa sebab, melainkan untuk memastikan bahwa orang yang menduduki posisi tersebut memiliki kualifikasi yang baik dan tepat. Mengingat semakin tinggi jabatan atau posisi seseorang, maka keputusan yang diambil akan memiliki dampak yang semakin besar.

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Rasanya, syarat serentet dengan berbagai kualifikasi juga perlu diberikan kepada seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala negara sekelas Republik Indonesia. Bayangkan saja, ketika orang tersebut resmi dilantik menjadi Presiden atau Wakil Presiden, ia akan menguasai lebih dari Rp2000 triliun APBN, beserta dengan seluruh regulasi negara untuk mengatur dan menata negeri ini. Tentu tidak elok bila hanya mengacu kepada ketenaran tanpa kedalaman berpikir. Bukan tidak mungkin salah kelola akan menyebabkan negara ini tercerai-berai, atau bahkan hilangnya kedamaian akibat kehancuran ekonomi atau sosial.

Ketika saya menilik UU yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yakni UU No. 17 tahun 2017 didetailkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU No. 22 tahun 2018) tertera bahwa syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:

Lanjutkan membaca “Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden RI Seharusnya”

Kesenangan yang Terlupakan

Salah satu sisi mengerikan dari bekerja yang kerap tidak disadari adalah tersedotnya pribadi seseorang secara perlahan ke dalam peran yang dimilikinya selama berjam-jam itu. Dari apa yang saya dengar di kanan-kiri, rata-rata keluhan pekerjaan adalah seputar beban kerja yang berat, kelelahan fisik maupun mental, atau seputar relasi; dari sosok atasan yang menyebalkan, bawahan yang tidak nyambung, atau lingkungan yang toxic. Akibatnya, tidak sedikit pula orang yang mengalami perubahan karakter akibat situasi seperti ini. Kalau perubahannya baik ya syukur, tapi kalau ke arah sebaliknya bagaimana?

Hal itulah yang baru-baru ini saya sadari. Barangkali bisa menjadi alasan utama juga tentang mengapa akhir-akhir ini Kudapan Pagi menjadi tidak seaktif 6-7 tahun sebelumnya. Selain karena menikah (sekalian publikasi informal gini ya hehe), ada hal yang menyita perhatian saya begitu besar, yakni pekerjaan saya. Meskipun saya pribadi tidak merasa tersita karena begitu menikmatinya (ya, saya berada di golongan orang yang menyukai pekerjaan yang dimiliki), tetapi tetap saja, hidup rasanya teralihkan sejenak bila saya sedang bekerja. Bahkan dari apa yang saya refleksikan, sepertinya ada figur lain yang hidup dalam diri saya untuk menjalankan peran tersebut.

Bulan Januari lalu, seorang sahabat karib mengontak saya via WhatsApp seraya menanyakan kabar. Ia adalah salah satu orang yang tahu seperti apa saya di tempat kerja; terlihat sangat profesional dan selalu terlihat sibuk. Saya membalas salah satu percakapan dengan nada santai, “Ya masih diupayakan supaya bisa santai, kadang juga malesnya masih keluar.” Selain karena memang dekat, ia adalah sosok yang mengenal saya jauh bertahun-tahun sebelum saya bekerja. Jadi ia mengenal sikap dan watak saya saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Dengan nada bercanda pula ia membalas “Ya memang harus gitu, kalau tidak seperti itu seperti bukan Bram.”

Lanjutkan membaca “Kesenangan yang Terlupakan”

Berangkat dari Mimpi, Berakhir sebagai Hadiah Hari Guru

Beberapa hari kemarin, saya menonton sebuah video di Instagram yang menampilkan apa yang terjadi ketika seseorang beranjak dewasa, salah satunya berbunyi, saat menjadi dewasa, seseorang belajar merelakan impiannya dalam diam. Video yang dikemas dengan latar musik sendu dan grafis yang flamboyan menggiring persetujuan untuk anggapan kemalangan itu. Namun setelah saya pikir, rasanya tidak selalu seperti itu.

Sebagian orang memang membuang mimpinya. Namun perlu disadari bahwa mimpi tidak sama dengan barang atau seonggok sampah, yang bila dibuang serta-merta akan hilang, sirna seluruhnya. Mimpi itu tidak berbentuk, ia bisa berganti atau bertransformasi kapan pun dan di mana pun; dan rasanya inilah yang lebih masuk akal — bahwa mimpi-mimpi kita tidak hilang, melainkan berubah bentuk. Entah itu menyesuaikan usia, kondisi ekonomi, atau bahkan kondisi kesehatan serta politik dunia.


Ketika bersekolah, saya tergolong anak yang lumayan cemerlang. Sampai dengan lulus, SMP saya tidak pernah luput dari 2 besar. Memang di jenjang SMA, saya mulai menikmati main dengan teman sehingga prestasi akademik menurun signifikan (seingat saya tidak pernah 5 besar). Namun bersyukur, untuk urusan kompetisi akademik (entah mengapa) saya adalah pemain rutin. Meski begitu, di antara puluhan atau bahkan ratusan kompetisi yang saya jalani, gelar juara yang pernah saya sabet kurang dari 10 buah. Prestasi tertinggi saya adalah runner-up tingkat provinsi di satu kompetisi. Sebagian besar di antaranya adalah semifinalis.

Lanjutkan membaca “Berangkat dari Mimpi, Berakhir sebagai Hadiah Hari Guru”

Mengapa Nama Kementerian Harus Selalu Berubah?

Photo by Katie Moum on Unsplash

Melihat nama kementerian di Indonesia itu makin ke sini namanya semakin panjang dan juga aneh-aneh. Contoh saja menteri ekonomi kreatif, kemaritiman, sempat ada juga pembangunan manusia. Padahal rasanya, kerjanya ya gitu-gitu saja, kalau dari sudut pandang masyarakat juga tidak signifikan. Lihat saja opung kemaritiman, tolok ukur kian maritim seperti apa juga tidak jelas. Malah lebih kentara ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan dipegang oleh Bu Susi dan sekarang tidak. Ya tahu sendiri lah Edy Prabowo berakhir di mana.

Selain namanya yang aneh-aneh dan tidak signifikan, perubahan organisasional di setiap periode ini juga menjadikan rantai koordinasi tidak jelas. Contoh yang paling dekat dengan saya adalah pendidikan. Ada suatu masa ketika istilah dinas P dan K keren, yakni Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah itu pernah berdiri sendiri menjadi kementerian pendidikan nasional. Lalu ada masa ketika perguruan tinggi (Pendidikan Tinggi, Dikti) dipisah dengan pendidikan dasar dan digabung dengan riset, yakni kemenristekdikti. Sekarang riset digabung bahkan dari pendidikan dasar menjadi kemendikbudristek.

Melihat bongkar pasang semacam itu, pertanyaan besar di kepala saya adalah signifikansinya apa? Apakah memang sudah melalui analisis manajemen yang memadai? Apakah memang hal tersebut betul-betul dibutuhkan untuk memenuhi visi-misi eksekutif yang dijunjung, sepadankah dengan perombakannya? Sebetulnya ketika birokrasi dan kewenangan kementerian terus berganti, alih-alih terus berprogres ke depan, ini justru membuat yang bawah ya muter-muter ganti sistem saja. Yang dikorbankan? Ya jelas masyarakat.

Lanjutkan membaca “Mengapa Nama Kementerian Harus Selalu Berubah?”