Surat Kembali

Halo,

Lama tidak jumpa. Sungguh rentang waktu sangat panjang sampai-sampai aku merasa aku sudah lebih baik, walaupun ternyata aku masih merasa posisiku pada saat itu lebih menantang. Mungkin bukan posisiku yang menantang, tetapi aku yang lebih tangguh. Ya, waktu itu aku berpikir aku lebih tangguh ketimbang banyak orang seusiaku. Itu yang membuatku menjadi sasaran empuk untuk berbagi cerita, membagikan kisah bagi mereka yang berada pada waktu labilnya. Aku begitu senang untuk berbagi, sampai aku melupakan apakah aku benar-benar senang atau hanya membuat beberapa pasang telinga lain puas mendengar ocehanku.

Aku tak pernah menyangka kalau saat ini aku akan berada pada posisi ini, tempat yang begitu aku dambakan berdekade lalu. Kala itu aku berjanji paa diriku sendiri bahwa aku akan menjadi orang yang lebih baik, ketimbang dia yang membuat jalan ceritaku menjadi begitu kelu. Namun saat ini aku tidak bisa menilai, lebih baikkah aku sekarang? Lebih baikkah aku pada posisi yang sama ini?

Entah mengapa aku justru semakin memahami posisinya, sehingga perlahan aku semakin merasa bahwa aku menjadi sama persis dengan orang itu. Aku mulai merasa bahwa usaha untuk pembuktikanku selama ini berpotensi berujung pada kesia-siaan. Walau pencapaianku saat ini bukanlah karena dendam, tetapi aku tersadar bahwa lingkaran yang sama telah menjerat kami sehingga hampir tidak mungkin bagiku untuk menjadi orang yang sama lagi.

Sungguh fantastis. Di waktu yang sama, kondisi justru memaksaku kembali ke tempat aku memulai pengalaman buruk itu, dan ini sungguh membingungkan. Seakan ada dua dua tokoh yang saling bertentangan, lalu mereka berebutan masuk ke dalam pikiran dan perasaanku. Ironisnya, aku mampu memahami betul seluk beluk keduanya, tetapi aku sama sekali tidak mempunyai petunjuk bagaimana menyelesaikan perselisihan mereka. Seakan pertarungan antara keduanya adalah hal yang ditakdirkan untuk terjadi.

Aku tahu bahwa pertengkaran akan menimbulkan luka. Yang kalah akan bertumbuh untuk menjadi seperti sang pemenang, lalu ia akan mengalahkan orang lain, dan orang lain akan menjadi seperti dirinya. Ini lingkaran setan. Lingkaran kejahatan di tempat yang tidak seharusnya. Kini aku melihat calon pecundang lain di depan mata kepalaku sendiri, mungkin ini saatku untuk mengubah jalan ceritanya. Setidaknya agar mereka tidak kehilangan kendali atas keberadaan dirinya sepertiku.

Perlahan sorot lampu menghindar dari posisiku berdiri. Tak lagi ada yang menggubrisku. Gelora lautan manusia yang menganggapku sebagai pahlawannya tiada lagi, itu hanyalah lamunan bocah. Namun tak dapat dipungkiri, goresan luka itu membuatku rajin berkaca serta bertanya, apa guna dari keberadaanku? Aku tidak tahu lagi dengan pasti untuk apa andilku di semesta. Sepertinya keluhuran batin perlahan pergi meninggalkanku, menjadikanku tidak lagi mengenal siapa diriku sebenarnya.

Ribuan hari berlalu dan ada satu pertanyaan besar yang ternyata masih kuharapkan dapat terjawab olehmu, untuk bisa tersampaikan melalui lisan yang didengungkan oleh pita suaramu sendiri. Aku tak ingin lagi berspekulasi. Namun bagaimana mungkin, bagaimana mungkin hal yang sama akan terbersit olehmu? Rasanya ini hanya halusinasiku belaka. Aku tidak tahu lagi apakah ada persimpangan jalan di depan sana yang bisa membuat kita saling bersua, untuk memenuhi kehendak batinku. Namun bukankah kehidupan penuh misteri? Maka wajarlah jika tak semua hal dapat terlunasi.

Opini: Zonasi Sekolah

Ilustari kegiatan belajar mengajar. | Photo by Nikhita S on Unsplash.

Saya ingin menjadikan tulisan ini selugas mungkin, sepenuhnya tentang opini saya sebagai mantan siswa dan kini sebagai tenaga pendidik. Zonasi, sebuah peraturan yang mewajibkan sekolah-sekolah milik pemerintah hanya menerima anak-anak yang tempat tinggalnya memiliki radius tertentu dari sekolah.

Untuk apa? Pemerataan kualitas pendidikan, benarkah? Bagi saya usaha ini tak lebih dari usaha pemerintah mengurai kemacetan kota besar, sementara dari segi edukasi, strategi ini justru menurunkan standard siswa yang sebelumnya telah terpatok cukup tinggi demi memasuki sekolah tertentu.

Ya sekarang kita bayangkan bersama saja. Misalnya anda telah berjuang secara maksimal demi masuk ITB (yang ekstrem misalnya), karena tahu ITB hanya bisa dimasuki 4000 orang satu tahunnya dengan kualitas individu–dalam hal ini–passing grade yang cukup tinggi. Dalam kondisi normal, mungkin kemampuan anda tidak bisa mencapai level tersebut. Akan tetapi didukung target dan kondisi persaingan, mau tidak mau anda akan memacu diri anda untuk mencapai di level tersebut. Dengan kata lain, persaingan mendorong diri anda menjadi lebih baik.

Lanjutkan membaca “Opini: Zonasi Sekolah”

Ennoia: Sejarah Daerah dan Nama Jalan

Borobudur | Photo by Sander Wehkamp on Unsplash

Cara terbaik menghancurkan karakter sebuah bangsa ialah dengan menghapuskan jejak sejarah bangsa tersebut, sehingga generasi mudanya tidak akan pernah mengenali siapa diri mereka.

Anonim

Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Bandung untuk memulai tahapan baru kehidupan saya, 7 tahun silam, salah satu hal yang cukup menggelitik saya adalah nama jalan yang kurang lumrah. Di daerah asal saya, Magelang, nama jalan di suatu daerah akan mirip-mirip dengan daerah lain di sekitarnya. Sebut saja Achmad Yani, Gatot Soebroto, Jenderal Soedirman–nama para pahlawan pasca-kemerdekaan itu dipakai secara pasaran untuk menamai jalan di setiap wilayah eks karesidenan Kedu, di Jawa Tengah bagian tengah sana.

Memasuki Bandung bagian utara, di sekitar kampus ITB, nama-nama yang asing seperti Tubagus Ismail, Dipati Ukur, Maulana Yusuf, Ciungwanara (Ciung Wanara?), Wira Angun-Angun, muncul sebagai nama jalan di wilayah tersebut. Hal pertama yang terlintas muncul dalam benak saya ketika itu ialah: siapa sebenarnya mereka?

Lanjutkan membaca “Ennoia: Sejarah Daerah dan Nama Jalan”

Minus One Himne Guru dan Bagimu Negeri

Bendera Indonesia.

Beberapa saat yang lalu, saya dipercaya untuk menjadi pengaba lagu Himne Guru dan Bagimu Negeri di acara kelulusan sekolah. Ketika mencoba mencari minus one di Google, saran yang muncul justru berasal dari YouTube. “Ya sudah, saya unduh dari sini saja,” pikir saya. Setelah saya pilih-pilih, ternyata hampir semua versi minus one Himne Guru dan Bagimu Negeri memiliki masalah dengan range suara awam. Himne Guru terlalu rendah untuk dinyanyikan, sementara Bagimu Negeri terlalu tinggi. “Bagaimana ini?”

Alhasil, dengan menggunakan aplikasi WavePad Sound Editor, saya memodifikasi pitch dari kedua file tersebut. Meski begitu, fitur modifikasi pitch di WavePad menggunakan persentase, bukan berbasis perbandingan kromatis nada. Dengan metode kira-kira, saya berhasil menempatkan nada dasar yang cukup manusiawi, walau sepertinya nada dasar yang dihasilkan menjadi tidak terlalu presisi dengan standard yang ada–tapi ya sudahlah.

Silakan unduh file hasil modifikasi saya tersebut di tautan ini:
Minus one Himne Guru (mp3)
Minus one Bagimu Negeri (mp3)

Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.

Tebak-Tebakan Capres 2024

Adu bison. Lebih mulia daripada adu mulut. | Sumber: Unsplash.

Dah, ngga perlu kelamaan opening di tulisan ini sesuai dengan judulnya, aku bakal memperkirakan siapa saja tokoh yang berpotensi naik jadi calon presiden di Pemilu 2024 mendatang. Emang sih, yang sekarang aja kisruh penghitungan ngga kelar-kelar. Terlalu banyak polemik dan drama yang ramenya nyaingin Game of Thrones. Namun biar dibilang cenayang, aku launch aja prediksi ala-ala buah pemikiran pribadi.

Pertama, jika kita asumsikan bahwa ambang batas pencalonan presiden(presidential threshold) tetap berada pada kisaran 20% suara rakyat, maka tidak ada satu pun partai yang dapat mengajukan calonnya seorang diri. Peringkat pertama PDI-Perjuangan pendapat 19 koma sekian persen suara. Duh kurang seencrit. Namun belum final juga, karena kalo porsi kursi di DPR doi dapat 25%, doi tetap akan bisa melenggang sorangan.

Lanjutkan membaca “Tebak-Tebakan Capres 2024”

Gengsi, Penyebab Darurat Regenerasi Petani?

Cuplikan berita yang diunggah salah satu kantor berita swasta di Indonesia tersebut menyinggung masalah minimnya jumlah petani muda di Indonesia. Dalam berita tersebut, dilansir sebanyak 65% petani Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara yang berusia di bawah 35 tahun hanya pada angka 10%. Hal ini mengkhawatirkan, tetapi sekaligus membuka peluang yang besar bagi sebagian pihak.

Banyak petani mengisahkan bagaimana anak dan cucu mereka sudah enggan turun ke sawah serta ladang untuk sekadar membantu. Rata-rata menuju ke kota, bekerja di balik kungkungan beton yang tak terkena terik mentari. Sebagian lain, yang memiliki nasib lebih baik, melanjutkan studi hingga jenjang yang tinggi, lalu masuk kolom berita jika berhasil lulus dengan predikat baik. Hanya anak petani tetapi luar biasa — demikian perspektif yang umumnya dipaparkan media.

Praktis, bukan tidak mungkin jika dalam satu hingga dua dekade mendatang, kepemilikan lahan menjadi masalah awal yang akan muncul. Para orang tua yang sudah tidak mampu lagi menggarap sawah dan ladang miliknya, akan menimbang bahwa menjualnya adalah keputusan terbaik. Hitung-hitung sebagai dana pensiun setelah bekerja sekian lama. Melalui kesempatan inilah, para pemilik dana akan beraksi. Di masa berikutnya, kita tidak tahu apakah tanah tersebut masih menjadi lahan pertanian atau beralih fungsi.

Alih fungsi lahan bakal menjadi ancaman bagi dunia pakan Indonesia, terlebih jika hasil bumi yang masih ada tidak diolah dan diregulasi dengan baik. Pasokan bisa menjadi tidak mencukupi, alhasil harga melonjak dan berbalik menekan rakyat kecil. Namun tidak mengalihfungsikan juga masih bisa menjadi ancaman. Kehadiran penguasa tanah dengan modal super bisa menggaungkan kembali semangat kapitalisme pertanian. Cultuur stelsel.

Apa penyebab semua ini? Sebagai generasi milenial, saya tumbuh dalam ajaran orang tua yang selalu menanamkan pada diri saya untuk menjadi orang besar dengan pekerjaan yang ‘bersih’. Bersih yang dimaksud ialah pekerjaan kantoran, tidak kepanasan dan kehujanan. Terlebih masa kecil saya dihabiskan di daerah pedesaan, yang masih dikelilingi wilayah persawahan. Ketika itu, di benak saya, — entah diajarkan secara sengaja oleh kedua orang tua saya atau tidak — petani selalu identik dengan orang kecil, orang melarat, orang yang pekerjaannya susah tetapi bayarannya sedikit. Itulah mengapa, petani sama sekali tidak muncul sebagai opsi masa depan saya.

Bisa jadi, apa yang saya alami juga tertanam pada diri orang-orang lain yang satu generasi dengan saya, generasi yang sekarang memasuki usia produktif. Banyak di antara kami mungkin merasa bahwa penghasilan kecil tetapi memiliki pekerjaan bersih dan gaji tetap jauh lebih baik ketimbang menjadi saudagar beras. Duduk di kantor, minum kopi bersama teman, menghadiri rapat di pagi hari, terasa begitu prestis ketimbang harus membawa traktor ke lahan, atau menyiapkan bibit yang akan ditanam. Walau pada kenyataannya, nilai rupiah yang lahir lewat ladang maupun gedung tetaplah sama. Seribu tetaplah seribu, satu milyar tetaplah satu milyar. Pembedanya, gengsi.

random171
Petani Indonesia. | Sumber: Aktual.

Gengsi doang? Tunggu. Jangan pernah remehkan gengsi. Gengsi dapat membuat seseorang melupakan impiannya, gengsi pula yang menyebabkan banyak anak muda melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan, menghalalkan segala cara. Apa saya pernah termakan gengsi? Tentu, dan membekas.

Akhir-akhir ini, saya dibuat gundah dan jengah dengan pekerjaan serabutan saya sebagai guru privat dan staff di sebuah orkestra profesional. Saya tidak pernah menganggap diri saya sedang bekerja. Karena bayangan saya, bekerja adalah berada di kantor dengan jam dan gaji yang statis. Perasaan itu perlahan sirna setelah mengetahui bahwa beberapa teman yang bekerja kantoran memiliki pendapatan yang tidak jauh berbeda dengan saya, ada pula yang lebih sedikit di bawah saya. Apa yang menyebabkan saya risau dengan kondisi saya? Gengsi.

Lalu apa yang perlu dilakukan oleh kita, agar anak muda kembali berbondong-bondong mau terlibat dalam dunia pertanian Indonesia? Rasanya tidak ada obat yang cespleng untuk kasus ini. Setidaknya mari kita mulai dengan menanamkan pemahaman pada generasi muda kita — anak, cucu, sepupu, kemenakan — untuk menghargai setiap mata pencaharian. Jangan meremehkan impian anak-anak yang ingin menjadi peternak lele, petani kol, atau gembala kambing, semua impian baik. Berikan dorongan bahwa kesuksesan ditentukan oleh kerja keras, bukan jenis pekerjaannya. Seorang petani yang bekerja keras akan sama suksesnya dengan seorang karyawan yang bekerja keras.

Selain itu? Setidaknya, hargai setiap jenis makanan yang terhidang di depan kita. Ketahuilah bahwa butuh perjuangan banyak orang dan perjalanan panjang untuk menghidangkan sepiring makanan. Memang apa hubungannya dengan regenerasi petani? Agar setiap anak muda yang memiliki cita-cita petani, niatnya tidak menjadi surut saat tahu bahwa kerja kerasnya kelak akan dihargai. Siapa tahu anak muda itu ada di sekeliling kita bukan? Mari selalu tebarkan hal-hal positif untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi.

Jayalah pertanian Indonesia!

Catatan Seorang Kristen: 5 Hal yang Saya Rindukan Setiap Idul Fitri

Umat Muslim menaikkan Salat. | Sumber: Unsplash.

Sebelum membaca lebih jauh, terlebih dulu saya ingin mengklarifikasi bahwa judul yang saya buat di atas bukan sekadar clickbait. Fakta yang pertama, saya memang pemeluk Kristen; Kedua, beberapa hal yang saya tuliskan mungkin juga dirasakan oleh orang-orang Kristen yang lain. Dari dua fakta tersebut, maka sahlah judul yang saya gunakan (walaupun masih terkesan memaksa, hehehe). Baik, langsung saja masuk dalam konten utama.

1. Libur Panjang
Tidak ada durasi libur lama yang diatur oleh sistem pemerintah selain Lebaran itu sendiri. Ya, lebaran ialah waktunya berhenti dari pekerjaan dan kesibukan, seraya kembali menyegarkan pikiran — yang didapat secara formal, bukan melalui izin sakit atau cuti. Natal dan tahun baru pun terkadang tidak selama libur Lebaran. Oleh karena itu, masa Lebaran selalu menjadi masa yang saya tunggu-tunggu oleh karena inilah fasenya beristirahat dan bersenang-senang!

2. Mudik
Pulang menuju tanah kelahiran, atau setidaknya tempat tinggal keluarga besar merupakan ritual yang juga selalu menyenangkan. Pembeda utamanya ialah, pada masa ini, hampir sebagian besar orang pulang ke kampung halamannya masing-masing. Hal ini membuat peluang bertemu dengan sanak saudara atau kawan lama yang sudah lama terpisah cukup besar sehingga memunculkan rasa nostalgia. Lanjutkan membaca “Catatan Seorang Kristen: 5 Hal yang Saya Rindukan Setiap Idul Fitri”

Mengapa Tidak Ada Kerajaan Kristen di Indonesia?

Sumber: Pixabay.

Minggu ini, murid les saya memasuki masa UAS. Hari pertama bahan yang diujikan adalah Fisika dan Sejarah. Tentu saja kami secara khusus membahas Fisika, yang mana secara umum memang lebih sulit dan subjek kuliah saya adalah bidang tersebut. Namun dikarenakan bosan, dalam beberapa waktu di pertemuan tersebut kami membicarakan materi sejarah yang akan diujikan. Bahan yang diujikan hanya satu, Kerajaan Islam di Nusantara. Di tengah percakapan, ada celetukan menarik yang terlontar dari mulut sang murid, “Kak, kenapa nggak ada Kerajaan Kristen?”

Hal ini sempat saya pikirkan juga bertahun-tahun lalu ketika saya berada di bangku SMA, di pelajaran sejarah, sama dengan posisinya saat ini. Entah mengapa, tidak ada kesempatan pun keberanian untuk menanyakan pertanyaan ini, saya sendiri lupa. Namun ide yang dibangkitkan ini membuat saya tergelitik untuk memberi jawaban, meski tidak mengacu kepada bukti sejarah konkret maupun dokumen historiografi yang telah disusun oleh para ahli. Jawaban ini saya susun berdasarkan kecintaan saya pada cerita-cerita sejarah serta menyambungkan secara komprehensif buku-buku berlatar belakang sejarah yang sempat saya baca. Jadi, mengapa tidak ada Kerajaan Kristen, yang setidaknya diceritakan di buku pelajaran anak-anak Indonesia hari ini? Mari kita analisis bersama-sama.

1. Waktu kelahiran

Dalam sejarahnya, kerajaan tertua di Indonesia memiliki corak Hindu, disusul Budha, baru Islam. Kita perlu sadar bahwa urutan ini juga merupakan urutan kelahiran keyakinan atau kebudayaan tersebut. Menurut beberapa sumber, Hindu berasal dari kebudayaan di lembah Sungai Gangga yang diprediksi mulai muncul pada sekitar tahun 1500 SM, Budha lahir pada abad ke-6 SM, Kristen bangkit pada abad pertama Masehi, dan Islam bermula pada tahun 611 Masehi.

Lanjutkan membaca “Mengapa Tidak Ada Kerajaan Kristen di Indonesia?”