Ennoia: Sejarah Daerah dan Nama Jalan

Borobudur | Photo by Sander Wehkamp on Unsplash

Cara terbaik menghancurkan karakter sebuah bangsa ialah dengan menghapuskan jejak sejarah bangsa tersebut, sehingga generasi mudanya tidak akan pernah mengenali siapa diri mereka.

Anonim

Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Bandung untuk memulai tahapan baru kehidupan saya, 7 tahun silam, salah satu hal yang cukup menggelitik saya adalah nama jalan yang kurang lumrah. Di daerah asal saya, Magelang, nama jalan di suatu daerah akan mirip-mirip dengan daerah lain di sekitarnya. Sebut saja Achmad Yani, Gatot Soebroto, Jenderal Soedirman–nama para pahlawan pasca-kemerdekaan itu dipakai secara pasaran untuk menamai jalan di setiap wilayah eks karesidenan Kedu, di Jawa Tengah bagian tengah sana.

Memasuki Bandung bagian utara, di sekitar kampus ITB, nama-nama yang asing seperti Tubagus Ismail, Dipati Ukur, Maulana Yusuf, Ciungwanara (Ciung Wanara?), Wira Angun-Angun, muncul sebagai nama jalan di wilayah tersebut. Hal pertama yang terlintas muncul dalam benak saya ketika itu ialah: siapa sebenarnya mereka?

Penelusuran saya membuahkan jawaban jika nama-nama tersebut ialah nama yang erat kaitannya dengan sejarah suku Sunda, baik dalam kerajaan Pajajaran, kerajaan Sunda, mitos daerah, maupun tokoh negara-negara kuno lain yang sempat berdiri dan berkuasa di wilayah Jawa bagian barat saat ini (Provinsi Jawa Barat dan Banten). Baru setelah itu saya sadar, mengapa daerah lain dengan segala kekayaan sejarahnya tidak mengangkat nama-nama pahlawan lokal menjadi nama jalan di masing-masing daerahnya? Atau mengapa harus pahlawan revolusi dan bukan nama-nama anggota Panitia Sembilan?

Sebagai anak yang lahir dan besar di Magelang, saya mengetahui benar bahwa Magelang merupakan kota tertua kedua di Indonesia, setelah Palembang. Artinya, Magelang tentu memiliki catatan sejarah yang panjang, tak kalah ikonis dengan korelasi kedigdayaan kerajaan Sriwijaya di wilayah Palembang masa kini.

Magelang merupakan pusat Mataram Kuno yang menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan besar di Jawa lainnya pada imperium setelahnya. Akan tetapi sangat disayangkan, barangkali hanya kurang dari setengah–atau bahkan seperempat dari jumlah penduduk total yang tahu akan fakta ini.

Prambanan | Photo by Agto Nugroho on Unsplash

Saya sangat merindukan nama-nama seperti Sanjaya, Sailendra, Gunadharma, Rakai Pikatan, atau Dyah Balitung, menjadi nama jalan, atau nama ruang publik di wilayah Magelang saat ini–agar tidak semua hal dinamai dengan Tidar, sebatas gundukan kecil yang ditanami pepohonan besar.

Dalam lingkup yang lebih besar lagi, saya mendambakan agar setiap kota mengangkat tokohnya masing-masing, sehingga ketika saya berkunjung ke sebuah daerah, saya dapat terstimulus dengan nama-nama tidak lazim, yang kemudian membuat saya–dan mungkin banyak orang lain–mencari tahu tentang tokoh tersebut.

Seseorang pernah berkata, cara terbaik menghancurkan karakter sebuah bangsa ialah dengan menghapuskan jejak sejarah bangsa tersebut, sehingga generasi mudanya tidak akan pernah mengenali siapa diri mereka. Perkataan ini hampir sepenuhnya benar. Lihatlah kondisi sosial kita saat ini. Kita masih lebih kerap mengidentikkan diri kita sebagai negara terjajah ketimbang sebuah negara besar dengan peradaban kuno yang tak kalah hebatnya dengan negara-negara barat di era yang sama.

Dengan gampangnya kita mengakui teknologi pengobatan secara kimiawi bangsa asing, meski kekayaan alam yang didukung kearifan lokal kita telah memiliki beragam ramuan herbal dengan fungsi yang hampir sama. Ketika negara maju mulai menggunakan tanaman sebagai bungkus yang menggantikan plastik agar dapat didaur ulang, kita baru berkoar-koar bahwa kita yang lebih dulu mengenal bungkus daun pisang dan besek. Selalu satu langkah di belakang, karena kita tidak memperjuangkan dan mendokumentasikan apa yang kita miliki. Ya, dengan kata lain, sejarah kita dituliskan ulang oleh bangsa-bangsa pemenang perang–kita adalah objek, bukan subjek. Mau sampai kapan?

Saya percaya dengan masa sejarah yang telah mencapai rata-rata 1500 tahun di setiap daerah, tentu banyak peristiwa dan tokoh yang bisa diceritakan sebagai bekal untuk generasi muda kita. Sebagai manusia, tentu ingatan kita terbatas, mungkin banyak informasi yang kita juga tidak dapatkan. Cara terbaik untuk mengabadikan itu ialah dengan bersatu-padu, mengorek kembali kejayaan dan kenangan itu, kemudian mematrikannya sebagai nama-nama yang dekat dengan keseharian kita.

Ya hitung-hitung lebih keren ketimbang menamai jalan dengan nama hewan atau nama buah. Jalan Jayabaya tentu lebih keren ketimbang Jalan Jambu, atau Jalan Alexander Andries Maramis lebih gahar dari Jalan Anggrek kan?

Tinggalkan komentar