Opini: Zonasi Sekolah

Ilustari kegiatan belajar mengajar. | Photo by Nikhita S on Unsplash.

Saya ingin menjadikan tulisan ini selugas mungkin, sepenuhnya tentang opini saya sebagai mantan siswa dan kini sebagai tenaga pendidik. Zonasi, sebuah peraturan yang mewajibkan sekolah-sekolah milik pemerintah hanya menerima anak-anak yang tempat tinggalnya memiliki radius tertentu dari sekolah.

Untuk apa? Pemerataan kualitas pendidikan, benarkah? Bagi saya usaha ini tak lebih dari usaha pemerintah mengurai kemacetan kota besar, sementara dari segi edukasi, strategi ini justru menurunkan standard siswa yang sebelumnya telah terpatok cukup tinggi demi memasuki sekolah tertentu.

Ya sekarang kita bayangkan bersama saja. Misalnya anda telah berjuang secara maksimal demi masuk ITB (yang ekstrem misalnya), karena tahu ITB hanya bisa dimasuki 4000 orang satu tahunnya dengan kualitas individu–dalam hal ini–passing grade yang cukup tinggi. Dalam kondisi normal, mungkin kemampuan anda tidak bisa mencapai level tersebut. Akan tetapi didukung target dan kondisi persaingan, mau tidak mau anda akan memacu diri anda untuk mencapai di level tersebut. Dengan kata lain, persaingan mendorong diri anda menjadi lebih baik.

Sekarang anda telah kelas 3 SMA (atau kelas 12) dan sudah membayangkan bangganya akan menjadi mahasiswa ITB. Nahas, tanpa tedeng aling-aling tiba-tiba pemerintah mengeluarkan fatwa bahwa yang bisa masuk ITB hanya anak Bandung, sementara kuota untuk anak dari luar Bandung hanya 5-20%.

Kira-kira bagaimana perasaan anda? Kalau saya, saya akan merasa ditipu serta merasa perjuangan saya selama ini sia-sia. Apalagi kalau orang tua saya adalah orang kurang mampu yang tidak mampu berjuang pindah domisili atau beli rumah di Bandung.

Saya akan merasa sangat tidak rela ketika kampus idaman saya diisi oleh orang-orang yang perjuangannya tidak seberapa, tetapi diuntungkan karena saat keputusan itu keluar, mereka sedang tinggal di Bandung–lebih karena takdir dan keberuntungan, bukan oleh kerja kerasnya.

Bagaimana kampus terdekat dengan domisili saya? Jangan harap saya sudi masuk kalau kondisi dan kemampuan saya sudah selevel dengan ITB, masuk ke instansi tersebut hanya akan membuat saya menurunkan derajat kembali. Alhasil, mungkin kampus swasta menjadi pilihan terbaik, karena instansi negeri–dengan orang-orang yang digaji pemerintah–kerap kali mengabaikan hal-hal ang bisa dikembangkan, termasuk perkembangan diri saya.

Perpustakaan. | Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash.

Kurang lebih seperti itu mungkin gambaran siswa-siswi yang hari ini menjadi korban dari sistem zonasi. Saya katakan korban karena saya yakin persentase orang yang dirugikan dari sistem ini lebih banyak ketimbang yang diuntungkan. Yang dirugikan ialah mereka yang sudah meningkatkan kemampuan dirinya dengan luar biasa, tetapi dipatahkan oleh keputusan sepihak dari Menteri Pendidikan. Sementara yang diuntungkan ialah mereka yang bertempat tinggal cukup dekat dengan sekolah-sekolah negeri yang dikategorikan favorit.

Loh bukannya memang tujuannya menghilangkan strata favorit dan non-favorit itu? Lalu memang kenapa kalau siswa yang pandai masuk ke sekolah negeri-non favorit? Begini lho ya, mas dan mbak sekalian, benar, memang tujuannya adalah menghilangkan status tersebut. Akan tetapi apakah perlakuan dan fasilitas yang sama juga sudah diberikan pada semua sekolah negeri di hari ini?

Menurut hemat saya dipadu dengan apa yang saya alami dulu ketika bersekolah di sekolah negeri favorit: fasilitas dan kelayakan sekolah kami jauh lebih baik ketimbang sekolah-sekolah non-favorit. Dengan kata lain, pemerintah dan Dinas Pendidikan sendiri pun membuat sekolah saya seperti “anak emas” mereka. Saya tidak tahu perbandingan jumlah dana yang digelontorkan, tetapi secara kasat mata pun saya tahu kalau yang masuk ke sekolah saya–di masa itu–sedikit lebih banyak ketimbang sekolah negeri lainnya.

Sekarang, dengan ketimpangan kondisi sekolah tersebut, masak tiba-tiba pemerintah memiliki agenda pemerataan yang harus dipaksakan pada semua anak didik di seluruh Indonesia? Yang benar saja?! Seharusnya banyak agenda lain yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah sebelum sistem zonasi ini diberlakukan.

1. Pemerataan fasilitas dan kualitas tenaga pendidik.
Berada dalam perbedaan status favorit dan non-favorit cukup lama tentu akan membuat satu sekolah dan sekolah lain diperlakukan cukup berbeda, sehingga berimbas pada fasilitas sekolah serta profil tenaga pendidik di sekolah tersebut. Sekolah negeri favorit umumnya lebih peduli akan hal ini, karena selain mendapat gaji, mereka masih memiliki target untuk menduduki peringkat tertentu di kota, provinsi, maupun nasional, yang memacu mereka untuk lebih baik. Sekali lagi, persaingaan menaikkan standard.

Beda halnya dengan sekolah non-favorit yang selama ini diisi oleh siswa-siswa berkemampuan biasa. Salah satunya bagi guru (bagi saya), mengajar siswa cerdas dan siswa biasa menjadi hal yang sangat berbeda. Mengajar siswa dengan kemampuan rata-rata tidak memerlukan banyak persiapan, sementara untuk menghadapi siswa cerdas, guru dituntut untuk benar-benar memahami suatu materi demi bisa menjawab pertanyaan siswa yang mungkin akan terlontar di kelas ketika kegiatan belajar-mengajar. Ya, pengaruhnya sangat signifikan. Belum lagi dengan pelayanan administrasi yang akan dikritisi ketika sangat lamban atau tidak simpel, karena pada umumnya seorang siswa yang cerdas memiliki keluarga yang kritis dan baik pula.

Terbentuk selama bertahun-tahun tentu akan membuat keberadaan favorit dan non-favorit tidak hanya sebatas status, tetapi juga sistem kerja, fasilitas fisik, serta mental dan susasana akademis dari seluruh civitas akademika yang sangat berpengaruh pada kondisi belajar-mengajar. Maka sejatinya, yang harus dipastikan oleh Dinas Pendidikan ialah kesamaan standard pelayanan di setiap sekolah negeri, baik dalam kegiatan belajar-mengajar, fasilitas belajar, maupun pelayanan administrasi. Sama rata, sama rasa, bagaimanapun kondisi siswanya.

Belajar. | Photo by Daniel Chekalov on Unsplash.

2. Spesialisasi sekolah.
Standard tenaga pengajar, fasilitas pendidikan, maupun pelayanan administrasi di semua sekolah harus sama-sama baiknya, benar. Akan tetapi akan lebih baik lagi jika masing-masing sekolah negeri memiliki spesialisasi yang dapat diunggulkan dari segi prestasi. Bukan lalu artinya semua sekolah harus menjadi sekolah kejuruan, bukan begitu. Misalnya, satu sekolah unggul dalam baris-berbaris, yang lain unggul tim basketnya, yang lain unggul untuk olimpiade matematika, sementara untuk kepramukaan ada sekolah lain yang baik dalam bidang tersebut–semacam itu.

Sama seperti yang saya katakan di awal, bahwa persaingan akan mengasah seseorang untuk menjadi lebih baik. Saya kurang sependapat jika persaingan masuk sekolah lebih dikarenakan takdir tempat tinggal semata, karena hal tersebut akan memupuskan semangat juang yang seharusnya digenjot di usia belia. Memangnya apa yang akan dibanggakan ketika seseorang masuk ke suatu sekolah hanya karena di bertempat tinggal dekat di bangunan sekolah tersebut? Bukankah itu kebetulan yang menguntungkan semata?

Beda halnya ketika seseorang masuk ke suatu sekolah karena prestasinya–karena ia seorang atlet olahraga tertentu yang selama ini telah tekun berlatih setiap hari, atau karena kecerdasannya melebihi anak-anak seusianya, atau mungkin karena ia seorang yang disiplin secara dan berkarakter baik sehingga dipercaya menjadi ketua organisasi. Ketika keberadaan dan kemampuan mereka dibalas dengan kesempatan untuk menempuh pendidikan di tempat yang mereka inginkan, saya rasa hal ini jauh leih baik. Mungkin bisa dipadu dengan sistem zonasi dengan persentase yang rasional; 40% untuk jalur prestasi mungkin?


Yah, sepertinya itu dulu saja opini dari saya. Kesimpulannya, saya tidak setuju dengan sistem zonasi jika diberlakukan tanpa transisi yang baik, karena yang dirugikan adalah anak-anak kurang beruntung dengan kegigihan dan kemampuan individu yang baik. Sudah.

Tinggalkan komentar