Berangkat dari Mimpi, Berakhir sebagai Hadiah Hari Guru

Beberapa hari kemarin, saya menonton sebuah video di Instagram yang menampilkan apa yang terjadi ketika seseorang beranjak dewasa, salah satunya berbunyi, saat menjadi dewasa, seseorang belajar merelakan impiannya dalam diam. Video yang dikemas dengan latar musik sendu dan grafis yang flamboyan menggiring persetujuan untuk anggapan kemalangan itu. Namun setelah saya pikir, rasanya tidak selalu seperti itu.

Sebagian orang memang membuang mimpinya. Namun perlu disadari bahwa mimpi tidak sama dengan barang atau seonggok sampah, yang bila dibuang serta-merta akan hilang, sirna seluruhnya. Mimpi itu tidak berbentuk, ia bisa berganti atau bertransformasi kapan pun dan di mana pun; dan rasanya inilah yang lebih masuk akal — bahwa mimpi-mimpi kita tidak hilang, melainkan berubah bentuk. Entah itu menyesuaikan usia, kondisi ekonomi, atau bahkan kondisi kesehatan serta politik dunia.


Ketika bersekolah, saya tergolong anak yang lumayan cemerlang. Sampai dengan lulus, SMP saya tidak pernah luput dari 2 besar. Memang di jenjang SMA, saya mulai menikmati main dengan teman sehingga prestasi akademik menurun signifikan (seingat saya tidak pernah 5 besar). Namun bersyukur, untuk urusan kompetisi akademik (entah mengapa) saya adalah pemain rutin. Meski begitu, di antara puluhan atau bahkan ratusan kompetisi yang saya jalani, gelar juara yang pernah saya sabet kurang dari 10 buah. Prestasi tertinggi saya adalah runner-up tingkat provinsi di satu kompetisi. Sebagian besar di antaranya adalah semifinalis.

Lanjutkan membaca “Berangkat dari Mimpi, Berakhir sebagai Hadiah Hari Guru”

Soal Fluida Statis: Tinggi Raksa pada Pipa U Tertutup

Beberapa waktu lalu saya menemukan soal yang cukup menarik dari salah satu sumber luar negeri, tapi sayangnya saya tidak mencatat situs atau sumbernya, jadi barangkali ada pembaca yang menemukan, perlu diketahui itu adalah yang asli hehe.

Perhatikan gambar di bawah ini!

Isi dari bagian pipa U yang tertutup adalah air raksa dan udara yang terjebak dengan tekanan 5×104Pa. Jika massa jenis air raksa 13600kg/m3 dan tekanan udara luar 1×105 Pa, hitunglah tinggi h!

\textbf{Diketahui: }\\ A_{piston} = A_{pi} = 5.0\times 10^{-4}\text{ m}^{2}\\ m_{piston} = m_{pi} = 5.0\text{ kg}\\ P_{air} = 1\times 10^{5}\text{ Pa}\\ \rho_{mercury} = \rho_{me} = 13600\text{ kg/m}^{2}\\ P_{trapped} = P_{tr} = 5.0\times 10^{4}\text{ Pa}\\ \\ \textbf{Ditanyakan: }\\ h = ?\\ \\ Lanjutkan membaca “Soal Fluida Statis: Tinggi Raksa pada Pipa U Tertutup”

Pemodelan Ekonofisika dari Financial Bubbles

Photo by XPS on Unsplash

Semasa berkuliah di tingkat 3, saya mengambil salah satu mata kuliah yang kelak menjadi salah satu mata kuliah favorit yang pernah saya ikuti, Ekonofisika. Seperti namanya, mata kuliah ini secara khusus mempelajari fenomena-fenomena ekonomi dan kemudian dikaitkan secara matematis maupun membangun analogi dengan fenomena-fenomena yang telah dikenal dalam ilmu fisika. Ketika UTS, mahasiswa diminta untuk membuat suatu laporan untuk mengulas salah satu fenomena ekonomi tersebut. Saya memilih financial bubbles.

Dikarenakan pada saat ini saya sudah tidak lagi secara fokus menaruh perhatian saya pada bidang ekonomi, maka rasanya akan lebih baik jika dokumen ini saya rilis sehingga dapat menjadi inspirasi bagi rekan-rekan pembaca yang sedang berupaya mendalami materi ini maupun memerlukannya untuk tujuan lain. Sekiranya kelak anda menggunakan tulisan saya sebagai rujukan atau acuan dalam pembuatan tugas dan lain-lain, jangan lupa untuk masukkan Kudapan Pagi dalam sitasi anda. Salam hangat.

Contoh soal AKM: Ladang Angin

Soal ini diambil dan dialihbahasakan dari tes PISA tahun 2006. Dibuat untuk level 4-5.

Banyak orang percaya bahwa tenaga angin berpotensi menggantikan minyak bumi dan batu bara sebagai sumber energi utama dalam penyediaan listrik. Gambar di bawah ini menunjukkan struktur dari kincir angin dengan bilah baling-baling yang digerakkan oleh tiupan angin. Oleh generator, gerak rotasi dari baling-baling akibat tiupan angin akan diubah menjadi energi listrik.

Gambar: Ladang Angin

Grafik di bawah menunjukkan nilai rata-rata kecepatan angin selama satu tahun. Grafik mana yang mengindikasikan tempat terbaik mendirikan ladang angin (wind farm) untuk menghasilkan energi listrik?

Lanjutkan membaca “Contoh soal AKM: Ladang Angin”

Rencana Tatap Muka Terbatas yang Aduduh

Coba bayangkan kalau anda berada di suatu kelas dan pembicara di depan berbicara pada layar, bagaimana perasaan anda? Pun halnya ketika anda di rumah dan yang anda tonton bukan orang yang sedang fokus menatap layar dan berbicara pada anda, tetapi sedang berbicara kepada orang lain di kelas, seperti apa? Ya itulah yang dinamakan ‘hangat-hangat tahi ayam’. Dingin tidak, panas tidak. Termutakhir ada istilah bekennya yakni ‘hibrid’. Padahal untuk makna lain bisa dibilang: banci.

Kita patut berbangga bahwasannya negara kita memiliki budaya yang sudah mengakar yakni mengambil jalan tengah. Jika bisa diakomodasi dua-duanya, mengapa salah satu? Acapkali akomodasi ini di-branding dengan kata lain agar dapat diklaim menjadi kekhasan negeri ini. Lihat saja sistem pemerintahan kita, antara demokrasi parlementer dan presidensiil yang tidak jelas kita bungkus dengan nama demokrasi Pancasila. Ataupun kecenderungan kita untuk anti-liberal tapi juga sekaligus anti-komunis dan sosialis, yang kemudian kita sebut marhaenis. Hibrid. Atawa: banci.

Jalanan yang sudah biasa lengang kini kembali dipadati aktvitias rutin yang menuntut distribusi manusia. Salah satunya sekolah. Sejatinya ini merupakan angin segar dunia pendidikan setelah vakum selama hampir dua tahun kalender akademik. Bagi sebagian besar sekolah, ini artinya kembali tatap muka setelah selama ini guru dan siswa hanya bersua via chat dan sosial media. Namun keputusan ini diramaikan dengan sesuatu berbau hibrid dengan brand Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT), atau yang ditinjau dari definisi berarti: sekolah boleh, protokol kesehatan ketat seakan sudah masuk betulan, tetapi durasi sebentar saja, dan kelas online tetap jalan.

Lanjutkan membaca “Rencana Tatap Muka Terbatas yang Aduduh”

Materi Koefisien Muai yang Cacat Posisi di Kurikulum

Thermal Expansion | Sumber: HyperPhysics

Salah satu ganjalan utama terbesar dalam mengajar Fisika adalah harus mengajarkan koefisien muai pada siswa kelas 7 SMP. Problematikanya cukup kompleks, dari segi matematika banyak hal yang belum mereka dapatkan sebagai dasar. Konsep tentang konstanta dan variabel masih belum kuat, apa lagi harus masuk ke dalam faktor pengali. Selain itu koefisien muai selalu bernilai sangat kecil sehingga menggunakan bilangan berpangkat negatif. Orang yang berpangkat positif saja siswa belum khatam, ini sudah langsung melangkahi untuk masuk ke bilangan berpangkat negatif.

Secara matematis zonk, otomatis masuk di fisika juga sekadar angin lalu. Aku rasa, sangat kecil persentase siswa yang memahami konsep koefisien muai sendiri. Mentok-mentok hafal rumus tapi tanpa tahu esensi. Buat guru kejar setoran sih tinggal kasih-kasih saja, tapi kalau aku menilai dari sudut pandang sains kok jadi tidak berguna. Siswa belajar kan bukan masalah mengerti rumus, tapi mengajarkan pola pikir. Dalam hal fisika, harusnya mereka tahu dulu apa yang dihitung, apa yang dibayangkan, baru masuk ke matematisnya, bukan sebaliknya.

Melihat ke kurikulum Cambridge dan merujuk pada beberapa referensi lain di internet, materi tentang koefisien muai ini tidak pernah aku jumpai untuk diajarkan di sekolah. Kalau sedang mencari soal-soal berbahasa Inggris, materinya selalu aku dapat di tingkat awal perkuliahan (khususnya yang penghitungan, kalau sekadar informasi bahwa benda yang dipanaskan akan memuai diajarkan di level sekolah). Ya kalau di ITB mungkin sebutannya TPB (Tahun Pertama Bersama). Lha gila saja, materi awal perkuliahan di luar negeri, di Indonesia di ajarkan di awal SMP. Kalau SMA mungkin masih mending ya, ini SMP. Ngerti enggak, gila iya.

Daftar koefisien muai. | Sumber: AplusPhysics

Setelah dipikir-pikir, belajar koefisien muai ini juga selain ngaco secara peletakkan karena siswa belum mendapatkan pembelajaran dasarnya, secara guna juga tidak terlalu bagaimana. Sebetulnya cukup secara intuitif saja; bahwa benda yang dipanaskan memuai, sehingga untuk benda-benda yang akan mengalami perubahan suhu secara berkala perlu diberi celah dalam pemasangannya. Seperti kaca jendela atau rel kereta api — kasus paling wajar. Untuk yang lain, bisa juga siswa mengobservasi pintu atau pagar mereka ketika pagi dan siang hari; apakah sama berat ketika digerakkan? Apakah sama-sama berbunyi? Jika sama-sama berbunyi apakah bunyinya (frekuensinya) sama? Rasanya observatif seperti itu saja cukup.

Sekiranya ada orang pendidikan yang paham, mungkin bisa dipertimbangkan terkait materi koefisien muai ini. Jika tidak dihilangkan dari kurikulum, ya setidaknya dipindahkan. Masuk ke materi suhu dan kalor di SMA mungkin? Supaya tidak sama-sama puyeng, baik yang diajar maupun yang mengajar.

Python: Menghitung Impedansi dan Frekuensi Resonansi Rangkaian RLC

Halo sobat koding! Sok asyik wkwk. Demi mengisi waktu liburan yang malah tidak bisa kemana-mana karena Covid-19 sialan ini, saya akan membagikan sedikit hasil karya pada hari ini. Semoga membantu, silakan diambil tapi jangan lupa nanti dipikir mengapa bisa seperti ini. Jangan terbiasa malas karena Tuhan memberi kita akal pikiran untuk melakukan hal yang hebat. Sehingga bekerja keras dan berpikir keras merupakan wujud rasa syukur yang paling nyata, bukan pakaian dan isi update statusmu.

# Header
print("RLC Calculator by Bram")
print("-"*30)
print("Insert the resistance, inductance, and capacitance:")
R = float(input("R (in ohm) = "))
L = float(input("L (in mH) = "))
C = float(input("C (in \u03bcF) = "))

import math

# Inserting the fourth variable
x = int(input("\nAnother variable (pick 1-3)\n1. Frequency (f) / 2. Period (T) / 3. Angular velocity (w)?\nYour choice: "))
if (x == 1):
  f = float((input("f (in Hz) = ")))
  w = 2 * math.pi * f
  XL = w * L / 1000
  XC = 1 / (w * C / 1000000)
  print("\nXL =", round(XL,2) , "ohm")
  print("XC =", round(XC,2) , "ohm")

elif (x == 2):
  T = float(input("t (in s) = "))
  w = 2 * math.pi / T
  XL = w * L / 1000
  XC = 1 / (w * C / 1000000)
  print("\nXL =", round(XL,2) , "ohm")
  print("XC =", round(XC,2) , "ohm")

elif (x == 3):
  w = float(input("w (in rad/s) = "))
  XL = w * L / 1000
  XC = 1 / (w * C / 1000000)
  print("\nXL =", round(XL,2) , "ohm")
  print("XC =", round(XC,2) , "ohm")

else:
  print("Invalid input. Please check it again.")

#Calculating Impedance
z = (R * R) + ((XL - XC) * (XL - XC))
impd = round(math.sqrt(z),2)
print("Impedance =", impd, "ohm")

#Calculating Resonance Frequency
fres = round(1 / (2 * math.pi * math.sqrt(L * C /1000000000)),2)
print("F. Resonance =", fres, "Hz")

Apa Itu Metode Gram-Schmidt?

Gram-Schmidt merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membuat suatu vektor menjadi ortonormal. Ortonormal? Apa itu? Jika suatu vektor saling tegak lurus satu dengan yang lain, maka disebut ortogonal, jika mereka saling tegak lurus dan panjang resultannya adalah 1, maka vektor itu disebut ortonormal. Singkatnya begitu, semoga paham. Langsung kita lanjut saja, bagaimana mengaplikasikan metode Gram-Schmidt? Simak contoh soal berikut:

SOAL: Tentukan basis ortonormal dari vektor (1, 2, 2), (-1, 0, 2), dan (0, 0, 1)!


Pertama: Cek ortogonalitas atau ortonormalitas dari ketiga vektor tersebut. Kalau sudah ortogonal, artinya kita hanya perlu membuatnya ortonormal (membagi dengan panjang vektornya), kalau belum artinya harus dibuat ortogonal dulu, baru nanti ortonormal. Bagaimana cara mengeceknya? Lakukan perkalian dot, kalau hasilnya semua nol, maka ortogonal, kalau salah satunya ≠ 0, maka tidak ortogonal.

Lanjutkan membaca “Apa Itu Metode Gram-Schmidt?”