Beberapa hari kemarin, saya menonton sebuah video di Instagram yang menampilkan apa yang terjadi ketika seseorang beranjak dewasa, salah satunya berbunyi, saat menjadi dewasa, seseorang belajar merelakan impiannya dalam diam. Video yang dikemas dengan latar musik sendu dan grafis yang flamboyan menggiring persetujuan untuk anggapan kemalangan itu. Namun setelah saya pikir, rasanya tidak selalu seperti itu.
Sebagian orang memang membuang mimpinya. Namun perlu disadari bahwa mimpi tidak sama dengan barang atau seonggok sampah, yang bila dibuang serta-merta akan hilang, sirna seluruhnya. Mimpi itu tidak berbentuk, ia bisa berganti atau bertransformasi kapan pun dan di mana pun; dan rasanya inilah yang lebih masuk akal — bahwa mimpi-mimpi kita tidak hilang, melainkan berubah bentuk. Entah itu menyesuaikan usia, kondisi ekonomi, atau bahkan kondisi kesehatan serta politik dunia.
Ketika bersekolah, saya tergolong anak yang lumayan cemerlang. Sampai dengan lulus, SMP saya tidak pernah luput dari 2 besar. Memang di jenjang SMA, saya mulai menikmati main dengan teman sehingga prestasi akademik menurun signifikan (seingat saya tidak pernah 5 besar). Namun bersyukur, untuk urusan kompetisi akademik (entah mengapa) saya adalah pemain rutin. Meski begitu, di antara puluhan atau bahkan ratusan kompetisi yang saya jalani, gelar juara yang pernah saya sabet kurang dari 10 buah. Prestasi tertinggi saya adalah runner-up tingkat provinsi di satu kompetisi. Sebagian besar di antaranya adalah semifinalis.
Lanjutkan membaca “Berangkat dari Mimpi, Berakhir sebagai Hadiah Hari Guru”