Hampir setiap pagi ketika masuk dalam sesi doa, ada ucapan-ucapan klise yang masih menyertai walaupun Covid-19 telah menerjang 500 hari lamanya. Antara lain frase “walau secara virtual”, “agar pandemi segera berlalu”, atau “protokol kesehatan”. Yuk bahas yuk. Tapi ngomong-ngomong untuk edisi ini saya lagi pengen nyampur-nyampur dengan Bahasa Jawa ya, lagi mood soalnya.
Walau Secara Virtual
Lapo nek gur ketemu virtual tok emang he? (Memangnya kenapa kalau cuma bertemu tatap maya?) Virtual ini padahal di KBBI definisinya hanya ‘secara nyata’. Ya berarti nyata bertemu, walaupun secara fisik tidak terlihat, kira-kira begitu. Lha saiki mikir, anda berdoa kan juga Tuhannya nyata, tapi kita juga tidak bertemu secara fisik. Kalau begitu mengapa tidak dari dulu setiap berdoa pada Tuhan pakai frase ini juga. “Tuhan, terima kasih atas penyertaan Tuhan kepada kami, meskipun hari ini kita hanya bertemu secara virtual.” Bisa kan ya? Tapi ya nggak perlu. Maka dari itu, kalau sudah dipertemukan ya sudah, mau virtual, live session, wesel, sama aja lah ya.
Agar pandemi ini segera berlalu
Optimis oke lah, ning mbok yo riset, malaria itu sudah menjangkiti penduduk Indonesia berapa lama? Lha kok kita tidak mendoakan malaria biar cepat sembuh? Menimbulkan banyak korban juga iya, pun halnya dengan demam berdarah yang masih gahar. Nek tak pikir-pikir, jawabannya satu. Karena Covid-19 sampai dengan ini belum benar-benar ada obatnya. Jadi kalau terkena itu ya antara deal or no deal, lanjut apa dicukupkan. Meski Puji Tuhan, kini persentase sembuhnya terus membaik apa lagi dengan didorong oleh vaksinasi.
Lha mas, nek ora ana obate HIV/AIDS kan yo gak ana obate? Kalau dari perspektif ini ya kita bicara keterjangkitan. Yang satu lewat udara yang satu lewat seks — yang satu bisa tanpa sadar, kita hirup lalu menjadi sakit meski sudah jaga diri; sedangkan yang lain bisa dibilang dengan sadar. Lak yo ora ana to wong sing ndlenger njur bleng, elhadalah AIDS? (Yang ini tidak akan saya terjemahkan, biar kolega-kolega saya yang serius tidak tahu apa artinya).
Sip, kalau begitu, seandainya kita tahu bahwa penyakit di Indonesia cenderung bertahan cukup lama, dan kemungkinan besar rutin didoakan karena sifat Covid-19 yang seperti lotere, yang dapat bisa siapa saja dan kapan saja, pertanyaannya: Lha kenopo kita tidak mendoakan agar obat Covid-19 supaya lekas ditemukan saja? Lak kepenak to malahan. Coba bayangkan kondisi kalau nanti obat Covid-19 udah setara dengan paracetamol. Tiap kurang enak badan, didiagnosis Covid-19, tinggal minta resep terus minum obatnya 3 kali sehari, istirahat 2 minggu, sembuh. Indonesia ki penyakit sing arane gampang yo dadi angel kandhanane, po meneh sing uangel koyok Covid ngene ya to? Paling bener yo golek tambanane, dudu golek rampung.
Protokol Kesehatan
Beberapa kali saya dengar orang berdoa terkait pelaksanaan protokol kesehatan. Begitu “amin” lihat orang di kiri-kanan ada yang pakai maskernya cuma sampai nutup kumis, juga diam-diam saja hanya menggerutu dalam hati. Lha mbok yo wong sing koyo ngono kosabet cangkeme. Kalau tidak ya dinasehati baik-baik, setidaknya dikomunikasikan. Tuhan tidak perlu cepu ya mas dan mbak. Seandainya bisa eksekusi ya eksekusi, kalau memang di luar kapasitas ya baru dimintakan. Keajaiban akan terjadi lebih cepat seandainya kita mengerti bahwa kita adalah salah satu kepingan keajaiban itu. Sangar to kalimate?
Ya wis ngono sik wae lah yo, nek kedawan aku selak luwe le nulis iki.