Plat Nomor Kebanyakan Digit

Sebagai negara yang tidak terlalu memerhatikan transportasi publik di tengah perkembangan teknologi, sudah pasti pelarian masyarakat adalah transportasi pribadi. Sebetulnya hal ini tidak terlalu masalah mengingat Indonesia adalah negara tropis dengan rentang suhu hidup yang tidak terlalu ekstrem. Naik motor sepanjang tahun sudah pasti tidak masalah, paling berat kalau hujan angin saja, selebihnya aman. Dari pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak ini, kepemilikan kendaraan bermotor juga sudah berubah menjadi kebutuhan primer. Tak pelak, jumlah kendaraan bermotor di negara Indonesia terus naik setiap tahunnya secara signifikan.

Saya memantau ada satu masalah yang muncul dari kenaikan kendaraan bermotor ini, yakni pelabelan plat nomor. Dengan masih besarnya persentase warga dengan paham nasionalisme sempit yang antipati terhadap kolonialisme Belanda, cukup mengejutkan kalau tidak banyak yang tahu bahwa pelabelan kode daerah kendaraan bermotor di Indonesia itu masih bawaan kompeni — yang berarti sudah mendekati seabad lalu. Membandingkan kondisi sekarang dengan 100 tahun lalu tentu amat tidak relevan, apalagi tentang kendaraan bermotor. Pemerintah (melalui Polri) sendiri sudah mencoba merevisi penomoran lewat Perpol No. 7 tahun 2021 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor, tetapi kurang signifikan.

Lanjutkan membaca “Plat Nomor Kebanyakan Digit”

Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden RI Seharusnya

Memasuki dunia profesi, kita tentu akrab dengan persyaratan yang harus dimiliki seseorang sebelum bergabung ke suatu institusi untuk menempati posisi tertentu. Semakin tinggi dan strategis posisinya, maka semakin banyak syarat yang diberikan oleh institusi tersebut. Bukan tanpa sebab, melainkan untuk memastikan bahwa orang yang menduduki posisi tersebut memiliki kualifikasi yang baik dan tepat. Mengingat semakin tinggi jabatan atau posisi seseorang, maka keputusan yang diambil akan memiliki dampak yang semakin besar.

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Rasanya, syarat serentet dengan berbagai kualifikasi juga perlu diberikan kepada seseorang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala negara sekelas Republik Indonesia. Bayangkan saja, ketika orang tersebut resmi dilantik menjadi Presiden atau Wakil Presiden, ia akan menguasai lebih dari Rp2000 triliun APBN, beserta dengan seluruh regulasi negara untuk mengatur dan menata negeri ini. Tentu tidak elok bila hanya mengacu kepada ketenaran tanpa kedalaman berpikir. Bukan tidak mungkin salah kelola akan menyebabkan negara ini tercerai-berai, atau bahkan hilangnya kedamaian akibat kehancuran ekonomi atau sosial.

Ketika saya menilik UU yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan/atau Wakil Presiden, yakni UU No. 17 tahun 2017 didetailkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU No. 22 tahun 2018) tertera bahwa syarat untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:

Lanjutkan membaca “Syarat Calon Presiden/Wakil Presiden RI Seharusnya”

Kesenangan yang Terlupakan

Salah satu sisi mengerikan dari bekerja yang kerap tidak disadari adalah tersedotnya pribadi seseorang secara perlahan ke dalam peran yang dimilikinya selama berjam-jam itu. Dari apa yang saya dengar di kanan-kiri, rata-rata keluhan pekerjaan adalah seputar beban kerja yang berat, kelelahan fisik maupun mental, atau seputar relasi; dari sosok atasan yang menyebalkan, bawahan yang tidak nyambung, atau lingkungan yang toxic. Akibatnya, tidak sedikit pula orang yang mengalami perubahan karakter akibat situasi seperti ini. Kalau perubahannya baik ya syukur, tapi kalau ke arah sebaliknya bagaimana?

Hal itulah yang baru-baru ini saya sadari. Barangkali bisa menjadi alasan utama juga tentang mengapa akhir-akhir ini Kudapan Pagi menjadi tidak seaktif 6-7 tahun sebelumnya. Selain karena menikah (sekalian publikasi informal gini ya hehe), ada hal yang menyita perhatian saya begitu besar, yakni pekerjaan saya. Meskipun saya pribadi tidak merasa tersita karena begitu menikmatinya (ya, saya berada di golongan orang yang menyukai pekerjaan yang dimiliki), tetapi tetap saja, hidup rasanya teralihkan sejenak bila saya sedang bekerja. Bahkan dari apa yang saya refleksikan, sepertinya ada figur lain yang hidup dalam diri saya untuk menjalankan peran tersebut.

Bulan Januari lalu, seorang sahabat karib mengontak saya via WhatsApp seraya menanyakan kabar. Ia adalah salah satu orang yang tahu seperti apa saya di tempat kerja; terlihat sangat profesional dan selalu terlihat sibuk. Saya membalas salah satu percakapan dengan nada santai, “Ya masih diupayakan supaya bisa santai, kadang juga malesnya masih keluar.” Selain karena memang dekat, ia adalah sosok yang mengenal saya jauh bertahun-tahun sebelum saya bekerja. Jadi ia mengenal sikap dan watak saya saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Dengan nada bercanda pula ia membalas “Ya memang harus gitu, kalau tidak seperti itu seperti bukan Bram.”

Lanjutkan membaca “Kesenangan yang Terlupakan”

Print PDF dari Google Docs agar Tidak Miring

Photo by Benjamin Dada on Unsplash

Beberapa waktu lalu saya menemukan satu hal yang unik ketika ada masalah dengan akun Microsoft saya. Ketika mengerjakan dokumen dengan aplikasi dari Google dan perlu untuk di-print, hasil yang masih ada di print preview menunjukkan bentuk yang landscape. Namun alangkah terkejutnya saya karena ketika diklik ‘OK’ dan disimpan dalam bentuk PDF, hasilnya tetap potrait sehingga kalau orang mau melihat harus miring kepala.

Sebetulnya aplikasi untuk memutar (merotasi) dokumen PDF cukup banyak, tapi kalau dilihat lebih rinci, hasil putaran PDF ini tidak sebagus jika di-PDF-kan dari awal. Kalau di komputer saya jadi timbul bayangan pada tulisan, seperti kertas yang sedikit ketumpahan air. Menjadi kurang elegan. Dengan modal iseng-iseng saya cari cara dan tanpa disangka, saya temukan triknya!

Caranya adalah dengan cara tidak melakukan print dengan cara mengeklik shortcut untuk print (Ctrl + P), tetapi dengan cara masuk ke File > Download > PDF. Ketika sudah klik bagian itu, nanti secara otomatis bagian yang kita ingin cetak tiba-tiba langsung terunduh di hard drive; ikuti saja permainannya. Jika nanti anda cek di Explorer, nantinya PDF yang diunduh akan sesuai penyusunannya; jika dokumen landscape akan tetap berada pada kondisi landscape tanpa perlu dirotasi.

Jangan salah, meski jadi lurus dan sesuai dalam cetak-mencetak, metode download ini pun ada kelemahannya. Yang paling menyebalkan adalah bahwa setiap dokumen yang nanti terdownload dalam bentuk PDF ini tidak bisa di-rename sebelum disimpan, karena memang dialog box menjadi tidak terakses (dilompat). Jadi harus kita lakukan adalah simpan dulu, baru nanti kita buka Windows Explorer, lalu sambil mengaktifkan Preview Pane. Sambil mencocokan dokumen kita lalu rename satu.

Ya sebetulnya mau pilih yang metode merotasi di akhir atau rename di akhir jadi sama saja, karena akan tetap memerlukan dua kali pengerjaan. Namun semoga artikel yang singkat ini bisa membantu yang sedang gundah gulana dan tak tahu harus ke mana, serta menjadikan Google menjadi lebih baik lagi. Terima kasih sudah membaca.

Ubah Dong Doa Covidnya

Photo by Md Mahdi on Unsplash

Hampir setiap pagi ketika masuk dalam sesi doa, ada ucapan-ucapan klise yang masih menyertai walaupun Covid-19 telah menerjang 500 hari lamanya. Antara lain frase “walau secara virtual”, “agar pandemi segera berlalu”, atau “protokol kesehatan”. Yuk bahas yuk. Tapi ngomong-ngomong untuk edisi ini saya lagi pengen nyampur-nyampur dengan Bahasa Jawa ya, lagi mood soalnya.

Walau Secara Virtual

Lapo nek gur ketemu virtual tok emang he? (Memangnya kenapa kalau cuma bertemu tatap maya?) Virtual ini padahal di KBBI definisinya hanya ‘secara nyata’. Ya berarti nyata bertemu, walaupun secara fisik tidak terlihat, kira-kira begitu. Lha saiki mikir, anda berdoa kan juga Tuhannya nyata, tapi kita juga tidak bertemu secara fisik. Kalau begitu mengapa tidak dari dulu setiap berdoa pada Tuhan pakai frase ini juga. “Tuhan, terima kasih atas penyertaan Tuhan kepada kami, meskipun hari ini kita hanya bertemu secara virtual.” Bisa kan ya? Tapi ya nggak perlu. Maka dari itu, kalau sudah dipertemukan ya sudah, mau virtual, live session, wesel, sama aja lah ya.

Agar pandemi ini segera berlalu

Optimis oke lah, ning mbok yo riset, malaria itu sudah menjangkiti penduduk Indonesia berapa lama? Lha kok kita tidak mendoakan malaria biar cepat sembuh? Menimbulkan banyak korban juga iya, pun halnya dengan demam berdarah yang masih gahar. Nek tak pikir-pikir, jawabannya satu. Karena Covid-19 sampai dengan ini belum benar-benar ada obatnya. Jadi kalau terkena itu ya antara deal or no deal, lanjut apa dicukupkan. Meski Puji Tuhan, kini persentase sembuhnya terus membaik apa lagi dengan didorong oleh vaksinasi.

Lha mas, nek ora ana obate HIV/AIDS kan yo gak ana obate? Kalau dari perspektif ini ya kita bicara keterjangkitan. Yang satu lewat udara yang satu lewat seks — yang satu bisa tanpa sadar, kita hirup lalu menjadi sakit meski sudah jaga diri; sedangkan yang lain bisa dibilang dengan sadar. Lak yo ora ana to wong sing ndlenger njur bleng, elhadalah AIDS? (Yang ini tidak akan saya terjemahkan, biar kolega-kolega saya yang serius tidak tahu apa artinya).

Sip, kalau begitu, seandainya kita tahu bahwa penyakit di Indonesia cenderung bertahan cukup lama, dan kemungkinan besar rutin didoakan karena sifat Covid-19 yang seperti lotere, yang dapat bisa siapa saja dan kapan saja, pertanyaannya: Lha kenopo kita tidak mendoakan agar obat Covid-19 supaya lekas ditemukan saja? Lak kepenak to malahan. Coba bayangkan kondisi kalau nanti obat Covid-19 udah setara dengan paracetamol. Tiap kurang enak badan, didiagnosis Covid-19, tinggal minta resep terus minum obatnya 3 kali sehari, istirahat 2 minggu, sembuh. Indonesia ki penyakit sing arane gampang yo dadi angel kandhanane, po meneh sing uangel koyok Covid ngene ya to? Paling bener yo golek tambanane, dudu golek rampung.

Protokol Kesehatan

Beberapa kali saya dengar orang berdoa terkait pelaksanaan protokol kesehatan. Begitu “amin” lihat orang di kiri-kanan ada yang pakai maskernya cuma sampai nutup kumis, juga diam-diam saja hanya menggerutu dalam hati. Lha mbok yo wong sing koyo ngono kosabet cangkeme. Kalau tidak ya dinasehati baik-baik, setidaknya dikomunikasikan. Tuhan tidak perlu cepu ya mas dan mbak. Seandainya bisa eksekusi ya eksekusi, kalau memang di luar kapasitas ya baru dimintakan. Keajaiban akan terjadi lebih cepat seandainya kita mengerti bahwa kita adalah salah satu kepingan keajaiban itu. Sangar to kalimate?


Ya wis ngono sik wae lah yo, nek kedawan aku selak luwe le nulis iki.

Tuhan Tidaklah Satu?

Photo by Rock Staar on Unsplash

Satu bulan yang sungguh padat. Mungkin akan menarik jika saya mulai tulisan ini dengan pernyataan: Barangkali Tuhan memang tidak satu. Gagasan yang menarik ini datang dari sebuah kebaktian yang saya hadiri 2-3 tahun yang lalu. Ada seorang pendeta yang waktu itu mengkhotbahkan tentang trinitas. Sesi tanya jawab diberikan di akhir khotbah. Seorang bapak mengangkat tangannya dan bertanya kesamaan entitas Tuhan dari berbagai agama.

Dengan raut wajah memperhatikan, sang pendeta menimpali pertanyaan itu dengan yakin: keberadaan Tuhan diketahui dari semenjak manusia lahir, secara natural ia memerlukan sesuatu yang lebih besar (superior) darinya. Manusia di berbagai tempat dan masa terus mencarinya. Sedangkan pewahyuan akan Pribadi Tuhan, tidak diturunkan sekaligus, melainkan melintasi sejarah secara bertahap — ini bukti ke-Mahakuasa-an Tuhan. Motif dan pola ajaran sesat terus berubah, satu tereliminasi, timbul yang lain, begitu seterusnya, sedangkan pewahyuan yang berasal dari Tuhan, terus terjaga. Dengan ke-Mahakuasa-an itu, bagaimana mungkin beberapa pewahyuan yang berbeda secara konsisten terus muncul sepanjang sejarah? Kalau yang satu baik dan yang lain tidak, apakah berarti Tuhan turut campur tangan dalam menjaga kejahatan untuk tetap berada dalam dunia? Hal yang dapat menjelaskan itu dengan baik ialah: karena memang Tuhannya berbeda.

Deg! Pemahaman saya langsung berada di titik belok. Di satu sisi saya tidak yakin, tapi di sisi yang lain ada benarnya. Saya rasa anda juga perlu memikirkannya sendiri. Pernahkah ketika anda berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang beda agama, anda merasa bahwa kebaikan yang ia berikan adalah representasi dari kebaikan Tuhan anda, bukan Tuhan lawan bicara anda? Saya rasa itu lumrah karena saya pun demikian. Banyaknya intensitas interaksi tanpa sadar menanamkan kita suatu pemahaman: segala kebaikan itu dari Tuhan — Tuhan yang sama, hanya jalan dan brand yang berbeda. Namun apa betul memang begitu?

Sejujurnya saya sudah lama tidak terlalu mempedulikan itu, terlebih di tengah kondisi pandemi ini. Namun siapa sangka, baru-baru ini pemikiran itu muncul lagi karena beberapa hal yang saya jumpai secara beruntun dan tak terencana. Cukup sayang kalau kecamuk pemikiran ini terbuang begitu saja. Jadi sampai di manakah ujung pemahaman saya saat ini? Begini.

Lanjutkan membaca “Tuhan Tidaklah Satu?”

Cuap-cuap Demokrasi Kita

Meski bukan seorang politisi, tapi kadang-kadang saya kalau pas lagi mandi suka terpikir ide-ide tentang sistem negara kita, selain transfer pemain sepak bola. Salah satu yang sering terpikir adalah tentang DPR kita yang terhormat, tentang bagaimana membuat sebuah sistem untuk menghasilkan DPR yang berkualitas. Saya memang tidak kenal secara personal member yang di Senayan sana, paling yang sampai ke saya isu-isu jeleknya saja. Dari hasil perenungan sambil nyabun badan, ada beberapa ide halusinasi yang rasanya sayang kalau cuma ikut larut bersama sabun yang terguyur air.

DPR harus minimal S-2 dan tidak punya rekap kriminal
Sebel juga lihat syarat jadi PNS yang rada ribet: ada pendidikan minimal, surat keterangan kelakuan baik, nanti setelah syarat lolos masih ada beberapa tes, intinya untuk menyatakan kalau calon memiliki kemampuan intelegensi dan emosional yang baik. Sedangkan DPR yang jadi bosnya bisa cuma lulusan SMA atau malah ngga selesai sekolah, mantan napi koruptor, tidak punya rekap yang mumpuni, mengandalkan reputasi doang. Apaan coba? Memangnya artis TikTok?

Kalau anak buah minimal S-1 ya berarti kepalanya harus di atasnya, setidaknya S-2 atau yang setara dengan itu. Kalau seperti itu nanti yang bisa mencalonkan sedikit bagaimana? Ya bagus, berarti ada proses seleksi, walaupun ijazah S-2 bisa beli, tapi kan masih harus ada effort. Setidaknya ini mengeliminasi tipe-tipe pedagang obat, yang kepalanya kosong tapi lidah bibirnya dianugerahi rupa-rupa karunia. Selain itu dosa di masa lalu juga harus diperhitungkan, Tuhan memang mahapengampun, tetapi pejabat tinggi harus sempurna. Buang saja orang-orang tajir yang terlilit kasus, masak sih tidak ada orang bersih dan cerdas dari 300 juta orang Indonesia?

Lanjutkan membaca “Cuap-cuap Demokrasi Kita”

Lulusan 2021

Aula Tergehol di Dunia

Hampir semua hal di dunia ini memiliki dua sisi, baik dan buruk. Hanya nyamuk aedes aegypti yang tidak saya ketahui faedahnya di dunia ini, mentok-mentok hidangan cicak, sisanya selalu punya. Tak terkecuali dengan sebuah perjumpaan daring. Meski jadi tidak meriah karena tidak ada hingar bingar dalam ruang yang sama, orang yang jauh justru bisa menikmati bersama. Dengan perantara yang baik, susunan acara yang tepat, tampilan atau video yang sesuai (tidak harus selalu kompleks), emosi pun dapat terbangun sama baiknya dengan sebuah acara luring. Setidaknya itu yang saya rasakan dua hari ini.

Lagi-lagi, pandemi menjadi alasan utama kami tidak bisa melaksanakan perjumpaan fisik untuk mengantarkan para lulusan di tahun ini. Bahkan untuk saat ini kami memberi ucapan selamat tinggal pada mereka yang sudah setahun lebih tidak berjumpa tatap muka. Sebuah cara yang aneh untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini kami sudah berkali-kali lipat lebih siap dan lebih fasih menggunakan teknologi pertemuan daring dibandingkan tahun sebelumnya yang masih meraba. Sehingga praktis, dibanding siaran tidak langsung, daring menjadi opsi utama.

Paduan antara Zoom dan OBS Studio menjadi duet maut yang begitu mematikan. Admin Zoomnya juga bukan one man show, sepenglihatan saya ada 6 orang (termasuk saya) yang mengoperasikan ini bersama-sama. Satu orang dengan satu tugas, menampilkan secara bergantian, dengan koordinasi yang solid dan gahar. Hasilnya, ya sudah lumayan menyerupai Indonesian Idol Special Season tanpa penonton, atau bahkan SUCI IX yang diramaikan oleh juri dan peserta lain saja. Tentu ini muluk, mana mungkin kualitas lokal mengalahkan perusahaan besar dengan tenaga profesional dan peralatan yang mutakhir. Mungkin kalau diberi fasilitas yang sama, baru saya cukup pede, karena dari isi kepala saya yakin kami tidak kalah (malah promo).

Lanjutkan membaca “Lulusan 2021”