Kesenangan yang Terlupakan

Salah satu sisi mengerikan dari bekerja yang kerap tidak disadari adalah tersedotnya pribadi seseorang secara perlahan ke dalam peran yang dimilikinya selama berjam-jam itu. Dari apa yang saya dengar di kanan-kiri, rata-rata keluhan pekerjaan adalah seputar beban kerja yang berat, kelelahan fisik maupun mental, atau seputar relasi; dari sosok atasan yang menyebalkan, bawahan yang tidak nyambung, atau lingkungan yang toxic. Akibatnya, tidak sedikit pula orang yang mengalami perubahan karakter akibat situasi seperti ini. Kalau perubahannya baik ya syukur, tapi kalau ke arah sebaliknya bagaimana?

Hal itulah yang baru-baru ini saya sadari. Barangkali bisa menjadi alasan utama juga tentang mengapa akhir-akhir ini Kudapan Pagi menjadi tidak seaktif 6-7 tahun sebelumnya. Selain karena menikah (sekalian publikasi informal gini ya hehe), ada hal yang menyita perhatian saya begitu besar, yakni pekerjaan saya. Meskipun saya pribadi tidak merasa tersita karena begitu menikmatinya (ya, saya berada di golongan orang yang menyukai pekerjaan yang dimiliki), tetapi tetap saja, hidup rasanya teralihkan sejenak bila saya sedang bekerja. Bahkan dari apa yang saya refleksikan, sepertinya ada figur lain yang hidup dalam diri saya untuk menjalankan peran tersebut.

Bulan Januari lalu, seorang sahabat karib mengontak saya via WhatsApp seraya menanyakan kabar. Ia adalah salah satu orang yang tahu seperti apa saya di tempat kerja; terlihat sangat profesional dan selalu terlihat sibuk. Saya membalas salah satu percakapan dengan nada santai, “Ya masih diupayakan supaya bisa santai, kadang juga malesnya masih keluar.” Selain karena memang dekat, ia adalah sosok yang mengenal saya jauh bertahun-tahun sebelum saya bekerja. Jadi ia mengenal sikap dan watak saya saat menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Dengan nada bercanda pula ia membalas “Ya memang harus gitu, kalau tidak seperti itu seperti bukan Bram.”

Kalimat candaan ini seakan menghentak saya untuk bangun dari tidur panjang yang saya alami. Rasanya seperti ada yang menarik tumit saya dan meletakkannya kembali ke permukaan tanah. “Betul juga ya, ‘kan dulu saya adalah orang yang santai,” demikian apa yang keluar dari pikiran saya saat itu. Saya segera tersadar bahwa saya pernah berada dalam fase menjadi sosok yang super-humanis dan jauh dari kata ambisius. Namun hari ini, rasanya fakta itu berputar 180°, saya melihat diri saya sebagai sosok yang pantang lelah dan mengabaikan unsur-unsur kemanusiaan yang biasanya saya junjung tinggi.

Pada tengah Februari, entah mengapa Tuhan menggerakkan sahabat karib saya yang lain untuk mengirim pesan teks kepada saya. Saking jarangnya orang ini berkomunikasi dengan saya meskipun akrab, saya sampai menduga pasti dia mau memberikan undangan pernikahan, sayangnya tebakan saya melenceng, padahal sudah siap-siap berbahagia hehe. Tanpa disangka dan diduga, ia menawarkan saya untuk membuat satu lagu rohani yang akan digunakan untuk Perayaan Paskah di Gerejanya nanti — Gereja saya juga di masa lalu. Bak anak kecil yang memperoleh hadiah mainan baru — tanpa berpikir panjang saya mengiyakan tawaran tersebut. Dari dalam diri, saya seperti merasakan hal yang sama dengan anak kecil tersebut, gembira yang diiringi antusiasme.

Dua minggu, itu waktu yang diberikan oleh sahabat saya untuk menggarap lagu. Karena antusiasme yang besar, awalnya saya bahkan sangat yakin mampu menyelesaikan pembuatan lagu tersebut dalam 2-3 hari. Namun ternyata itu sikap takabur yang sungguh kelewatan. Saya lupa bila terakhir saya menciptakan sebuah lagu adalah tepat sebelum pandemi terjadi, atau hampir 3 tahun sebelumnya. Bahkan sempat pernah ada niatan untuk membuat lagu khusus pernikahan tapi itu pun tidak terwujud. Alasannya? Ya apalagi bila bukan terlalu menikmati pekerjaan, hehe.

Bersyukur, sahabat saya ini masih awet cerewetnya dari semenjak saya mengenalnya di usia belia sampai dengan hari ini. Akibat keuletannya untuk mengingatkan saya tanpa henti, serta dorongan dari diri untuk bisa kembali berkarya, akhirnya lagu tersebut lahir tepat di hari terakhir tenggat pembuatan lagu. Rasanya? Saya merasa masa muda saya kembali! Bahkan tidak hanya di membuat lagu saja, karena bersentuhan kembali dunia musik, antusiasme saya untuk mengerjakan desain grafis juga bangkit begitu saja. Tadinya semenjak masuk di dunia kerja, saya memang sudah berencana untuk memendam kemampuan desain grafis saya, lantaran takut bila diminta ini itu untuk membuat desain grafis dengan cuma-cuma. Apalagi kan banyak meme ya kalau desainer grafis memang kurang dihargai secara nominal khususnya, malah curhat haha.

Melalui perjumpaan dengan para sahabat lama yang Tuhan siapkan dan rencanakan ini, Tuhan mengizinkan saya untuk merefleksikan hidup yang sedang saya jalani; dan saya mendapati, bahwa bersenang-senang itu perlu. Ketika bekerja, punya uang, dan melihat Instagram Story, terkadang kita menggeser definisi bersenang-senang itu dengan yang muncul di layar handphone kita; ya liburan, makan enak, atau me time di tempat estetik yang ala-ala. Padahal tidak selalu seperti itu, ada kemungkinan kita melupakan hal-hal kecil yang dulu kita lakukan dengan cuma-cuma dan sukarela hanya karena benar-benar kita menyenanginya. Bagi saya, itu adalah membuat lagu dan mendesain grafis, bagi anda, itu bisa berbeda.

Saya harap dari tulisan ini teman-teman pembaca bisa kembali mengingat dan melakukan kembali hal-hal bahagia yang teman-teman lakukan dulu, jika Tuhan mengizinkan, barangkali dengan orang-orang lama yang masih ada di sana. Have a good day!

Tinggalkan komentar