Kritik Lini Masa Pemilu

Photo by Hobi industri on Unsplash

Di tahun yang sarat politik ini pemerintah Republik Indonesia masih belum membuat terbosan signifikan terkait pelaksanaan Pileg yang dibarengkan dengan Pilpres. Memang untung secara dana dan kesederhanaan, tetapi menyadari bahwa eksekutif dan legislatif adalah entitas yang berbeda, membarengkannya justru menutup urgensi salah satunya. Kalau dalam terminologi sepak bola seperti beli pemain bintang dan lapis dua bersamaan, satunya kena sorot banyak, yang lain jadi berita sambil lalu.

Saat artikel ini mulai ditulis, Pemilu 2024 masih akan terjadi beberapa hari ke depan. Menyisakan catatan kelam dari Pemilu sebelumnya, lantaran meninggalnya 800 orang petugas KPPS, yang disinyalir akibat kelelahan meregulasi 5 jenis surat suara dalam hari yang sama. Melihat realita ini, rasanya cukup banyak sisi masuk akal untuk Pileg dipisahkan dengan Pilpres. Jadi, apa saja?

1. Memperbesar spotlight Pileg

Sejak mulai dilakukan serentak dari 2019, tidak bisa dipungkiri bahwa Pilpres lebih seksi dibandingkan Pileg. Secara natural, manusia lebih mampu mengakomodasi pilihan yang terbatas. Sama halnya dengan pilih menu di restoran yang baru pertama kali kita kunjungi, kita jadi bingung bila restoran tersebut menawarkan 100 menu. Kita cenderung nyaman mendatangi restoran dengan 20 menu yang serumpun, seperti rumah makan padang atau warung pecel lele.

Memisahkan Pileg dengan Pilpres akan meningkatkan kadar konsentrasi masyarakat serta panitia penyelenggara. Melihat fakta bahwa banyak masyarakat Jawa Barat yang cukup kaget dengan pencalonan komedian kawakan Alfiansyah atau akrab disapa Komeng, menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu siapa saja kandidat ada. Memang cukup banyak caleg yang mempromosikan diri dengan baliho di sana-sini, tapi masih belum cukup. Hanya kandidat berduit atau banyak koneksi yang bisa melakukannya. Bagaimana dengan yang berkualitas tapi tidak cukup tajir?

Photo by wisnu bagus on Unsplash

2. Mengoptimalkan Kinerja Panitia Pemungutan Suara

Bagian tersulit dari Panitia Pemungutan Suara adalah penghitungan suara. Di TPS terdekat yang berada di sekeliling tempat tinggal saya, penghitungan rata-rata diselesaikan sekitar pukul 10 malam. Padahal, para panitia ini sudah berdinas dari subuh atau bahkan malam hari sebelumnya untuk menyiapkan penyelenggaraan Pemilu. Anggaplah semua TPS mulai disiapkan pukul 5 pagi, maka artinya panitia bekerja sekitar 17-18 jam sehari, sadis! Ini sudah setara masa kerja 2 hari yang dipadatkan dalam 1 hari. Overload.

Di sisi lain, kita melihat fakta bahwa penghitungan suara selalu diawali untuk Pilpres. Agaknya karena Pilpres lebih sensitif dan rawan diprotes ketimbang Pileg. Namun, bukankah ini berarti mengesampingkan Pileg itu sendiri? Apakah berarti secara kasta Pileg di bawah Pilpres? Harusnya tidak demikian.

Tidak dapat dipungkiri, bekerja di durasi selama itu menguras tenaga, emosi, dan — tentu saja — konsentrasi. Bila penghitungan Pileg dilakukan di akhir, akan terdapat cukup banyak potensi miskalkulasi dan pemantauan tidak dilakukan secara optimal. Mengapa? Ya panitia atau saksi sudah sama-sama mulai tepar. Jadi, lebih baik masa kerja 2 hari memang dijadikan 2 hari sebagaimana seharusnya. Untuk negara, ongkos mahal demokrasi lebih baik ketimbang demokrasi yang tidak berkualitas.

3. Menggeser Acuan Presidential Threshold

Ada alasan mengapa TOEFL atau tes kemampuan bahasa serupa ada masa berlakunya. Mengacu pada fakta bahwa keterampilan seseorang bisa berubah seiring waktu. Bukan hanya individu, organisasi pun berubah. Lihat saja peringkat universitas dunia atau peringkat sekolah di Indonesia. Kurun waktu 1 tahun pun dapat membuat perbedaan — apa lagi 5 tahun. Ini juga yang selalu menjadi permasalah dari sudut pandang saya. Bagaimana bisa, batas ambang pencalonan presiden — di negara yang konon menganut sistem presidensial ini — mengacu pada capaian partai politik dalam Pileg 5 tahun sebelumnya? Rentang 5 tahun tidak singkat, tentu secara data sudah tidak menjadi relevan. Maka bagaimana bisa, pencalonan pemimpin negara merujuk pada data dan fakta yang sudah usang?

Menggeser, atau lebih spesifiknya, memajukan, pelaksanaan Pileg sebelum Pilpres, adalah cara paling masuk akal untuk mengatasi anomali ini. Selain menjadi solusi dari 2 poin yang diutarakan sebelumnya, pemisahan Pileg dan Pilpres akan membuat pelaksanaan Pilpres menjadi masuk akal, yakni dengan menjadikan hasil Pileg terbaru — yang mungkin berjeda beberapa bulan dari Pilpres — sebagai acuan dari presidential threshold. Bila parpol menjadi terancam dengan hal ini, mungkin memang sudah seharusnya presidential threshold dihapuskan.

Itu adalah beberapa poin dari perenungan yang saya lakukan beberapa saat terakhir ketika berita-berita perihal demokrasi merebak di berbagai tempat dan kanal. Dari hasil hitung cepat terakhir, pasangan Prabowo-Gibran disebut akan memenangkan Pemilu, dan rasanya memang begitu, mengingat selisih persentase yang cukup jauh. Namun marilah kita berdoa, agar siapa pun yang memimpin bangsa ini, senantiasa mampu membimbing dan membawa Indonesia yang kita cintai ke arah yang lebih baik; meskipun noda nepotisme yang telah tergoreskan tak akan pernah dihapuskan dengan cara apa pun, mengingat itu fakta sejarah yang sudah kita sepakati bersama melalui Pemilu 2024 ini.

Kiranya Tuhan mengampuni dosa kita dan membuat pribadi setiap kita kembali dalam kesucian dan kebaikan. See you next time.

Tinggalkan komentar