Liburan Nganggur Nan Berkesan

Photo by Clay Banks on Unsplash

Hari saya menuliskan ini adalah hari terakhir pekan libur lebaran usai. Tidak seperti liburan-liburan sebelumnya yang selalu hiruk pikuk dengan kegiatan atau pun kunjungan lain, liburan kali ini saya banyak menghabiskan waktu di rumah bersama dengan istri. Akhirnya, setelah menikah lebih dari satu tahun, baru kali ini saya kembali melakukan hobi masa kuliah saya, binge watching. Kali ini lebih spesial karena ditemani istri yang juga memiliki daya tahan nonton yang panjang.

Mengacu pada kondisi saya sekarang, menganggur adalah kondisi istimewa (walaupun saya juga bahagia bila diminta bekerja). Kondisi pekerjaan saya akhir-akhir ini memang cukup menyita waktu dan membuat saya rutin overtime. Selintas pikiran kapan bisa jeda acapkali muncul — dan ternyata inilah waktunya. Apalagi yang spesial di liburan kali ini bukan sebatas kondisi rehat secara paripurna belaka, tetapi satu serial drama Korea yang saya nikmati. Ya, saya adalah penyuka drakor dari masa sekolah, sekitar SMP, hanya tidak seadiksi itu.

Serial yang saya tonton berjudul Welcome to Samdal-ri. Sebuah drama romantis yang mengisahkan sosok gadis dari sebuah desa kecil di pulau Jeju yang merantau ke ibukota untuk mengejar kesuksesan. Di tengah kesuksesan dan ketenaran yang baru saja ia cicipi, tiba-tiba ada kontroversi yang mengharuskan dia berhadapan pada penghakiman dari khalayak. Bahasa kekiniannya: cancel culture. Lantaran tidak kuat, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun lamanya ia tinggalkan. Tentu saja ada bumbu kisah cinta di sana, namanya juga drakor.

Dokumen JTBC

Alasan serial ini begitu dekat dengan saya adalah perjalanan hidup saya pun kurang lebih sama dengan sang tokoh utama. Saya bukan orang kota, meskipun juga bukan dari desa yang sangat terpelosok juga — yang saat ini tinggal di kota metropolitan. Beberapa hal yang dialami oleh tokoh utama, secara mengejutkan (tim risetnya jago bener) dialami juga oleh saya, mungkin juga banyak perantau lain: dalam masa yang singkat, kita berubah menjadi pribadi kita yang dulu lagi saat pulang.

Melihat deretan rumah yang kita pandangi dari kecil, bertemu dengan para tetangga yang menua, juga teman-teman masa kecil kita yang sudah beranjak dewasa, nyaris tidak pernah muncul kecanggungan di sana — walau kita sudah pergi dalam waktu yang lama. Kendaraan bisa berubah, jabatan di pekerjaan bisa berubah, masalah hidup yang sedang dihadapi pun berubah-ubah dan silih berganti. Namun saat di kampung halaman, segala perubahan terhiraukan dengan sendirinya dan kita hidup sebagai sosok anak muda yang belum merantau itu.

Dalam beberapa kali saya melaksanakan mudik, satu pesan yang bergema dalam diri saya setiap kali hendak kembali ke tanah rantau adalah “terima kasih sudah mengingatkan kembali siapa saya”.

Bram Setiadi

Tidak dipungkiri, berjuang sendiri tanpa ada orang yang mengenal kita bukanlah hal mudah — dan sangat mungkin kondisi itu mengubah kita, baik disadari maupun tidak. Entah menjadi cuek ataupun lembek, lebih kasar maupun lebih mengalah, banyak pergolakan bisa terjadi. Dalam kondisi saya, di masa-masa awal saya merantau, saya sering merasa kecil dan tidak percaya diri. Saya sering minder dengan teman-teman yang berasal dari kota-kota besar, apalagi Bandung dan Jakarta. Padahal ketika bersama dengan keluarga dan teman-teman, saya adalah yang paling menonjol, paling berprestasi, paling vokal, dan “paling”-“paling” lainnya.

Photo by Abdul Ridwan on Unsplash

Lewat serial ini, meski tahun ini memutuskan tidak pulang kampung, saya diingatkan bagaimana hangatnya suasana dibesarkan di kampung. Saat ini, banyak tetangga masa kecil yang sudah tidak ada (baca: meninggal dunia), tapi saya masih banyak mengenal anak-menantu, dan sanak saudara mereka. Sebenarnya saya sendiri tergolong tidak terlalu akrab, tetapi bila dibandingkan dengan relasi saya dengan tetangga di kota, tentu langit dan bumi. Tidak akrabnya kota kecil itu selevel dengan kadar sangat akrab di perkotaan. Terlebih saat ini, ada kondisi beda budaya yang membuat saya cukup sulit menembus culture barrier lingkungan.

Setelah menonton serial ini, saya sedikit berandai-andai, ingin rasanya membesarkan anak tidak di lingkungan metropolitan. Salah satu episode serial tersebut berjudul “perlu satu desa untuk membesarkan anak naga”, dan itulah kemewahan yang barangkali tidak diperoleh anak-anak di kota besar. Sebagian besar hanya akan dibesarkan oleh institusi pendidikan, dan yang dibesarkan bersama dengan masyarakat pun ancaman pergaulan dan pengaruh buruknya tinggi. Namun, siapa yang tahu isi hati Tuhan — dan siapa yang tahu nasib manusia. Saya yakin di mana pun kita ditempatkan, ada risiko, tetapi juga ada pengaruh dan tujuan yang Tuhan titipkan di sana — termasuk dengan di mana anak saya akan bertumbuh dan berkembang nantinya.

Saya tidak bisa memungkiri, salah satu sumber kekuatan yang Tuhan berikan dalam kehidupan saya adalah dalam rupa kampung halaman. Setiap kali saya mengalami kesulitan di tempat saya merantau, saya teringat akan rumah saya. Bila sampai sesuatu yang sangat mendesak terjadi pun, akan ada tempat saya untuk menepi dan pulang. Tidak bisa dibayangkan bila saya hidup dan besar di area yang sama; ke mana saya harus menyingkir bila kepenatan itu datang menghantui saya?

Photo by Hoyoung Choi on Unsplash

Bagi para pembaca yang juga anak rantau, serial ini sangat saya sarankan untuk kita bisa tonton bersama — apalagi bila sedang tidak bisa pulang ke rumah. Terima kasih, Samdal-ri, telah mengingatkan saya betapa Tuhan begitu mengasihi saya, lewat satu anugerah kecil yang bernama: kampung halaman.

Tinggalkan komentar