Mengapa Tidak Ada Kerajaan Kristen di Indonesia?

Sumber: Pixabay.

Minggu ini, murid les saya memasuki masa UAS. Hari pertama bahan yang diujikan adalah Fisika dan Sejarah. Tentu saja kami secara khusus membahas Fisika, yang mana secara umum memang lebih sulit dan subjek kuliah saya adalah bidang tersebut. Namun dikarenakan bosan, dalam beberapa waktu di pertemuan tersebut kami membicarakan materi sejarah yang akan diujikan. Bahan yang diujikan hanya satu, Kerajaan Islam di Nusantara. Di tengah percakapan, ada celetukan menarik yang terlontar dari mulut sang murid, “Kak, kenapa nggak ada Kerajaan Kristen?”

Hal ini sempat saya pikirkan juga bertahun-tahun lalu ketika saya berada di bangku SMA, di pelajaran sejarah, sama dengan posisinya saat ini. Entah mengapa, tidak ada kesempatan pun keberanian untuk menanyakan pertanyaan ini, saya sendiri lupa. Namun ide yang dibangkitkan ini membuat saya tergelitik untuk memberi jawaban, meski tidak mengacu kepada bukti sejarah konkret maupun dokumen historiografi yang telah disusun oleh para ahli. Jawaban ini saya susun berdasarkan kecintaan saya pada cerita-cerita sejarah serta menyambungkan secara komprehensif buku-buku berlatar belakang sejarah yang sempat saya baca. Jadi, mengapa tidak ada Kerajaan Kristen, yang setidaknya diceritakan di buku pelajaran anak-anak Indonesia hari ini? Mari kita analisis bersama-sama.

1. Waktu kelahiran

Dalam sejarahnya, kerajaan tertua di Indonesia memiliki corak Hindu, disusul Budha, baru Islam. Kita perlu sadar bahwa urutan ini juga merupakan urutan kelahiran keyakinan atau kebudayaan tersebut. Menurut beberapa sumber, Hindu berasal dari kebudayaan di lembah Sungai Gangga yang diprediksi mulai muncul pada sekitar tahun 1500 SM, Budha lahir pada abad ke-6 SM, Kristen bangkit pada abad pertama Masehi, dan Islam bermula pada tahun 611 Masehi.

Mengacu pada kondisi zaman masing-masing, tentu perluasan agama dan kebudayaan membutuhkan jangka waktu yang berbeda, terkait dengan teknologi transportasi, informasi, maupun tingkat intelektual manusia di setiap zaman. Menurut catatan sejarah, raja pertama Nusantara yang menganut Hindu ialah Mulawarman pada abad ke-4 Masehi; sementara kerajaan Nusantara pertama bercorak Budha ialah Mataram Kuno di masa dinasti Syailendra yang bermula awal abad ke-8 Masehi; dan kesultanan Islam tertua ialah Samudera Pasai pada tahun 1297 Masehi.

Bila kita tinjau selisih waktu antara kelahiran dengan masuknya suatu agama di Nusantara hingga dianut oleh pemimpin masyarakat setempat, diperoleh: Hindu dari abad ke-15 SM ke abad ke-4 M, 19 abad; Budha dari abad ke-6 SM ke abad ke-8 M, 14 abad; Islam dari abad ke-7 ke abad ke-13, 6 abad. Maka jika kita ingin membuat hipotesis, kekristenan mungkin akan tiba di wilayah Nusantara dalam kurun waktu 8-11 abad, atau berarti antara tahun 800-1100 M.

2. Kondisi Geografis

Sumber: Unsplash.

Pertukaran budaya baru terjadi ketika ada kontak sosial yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Selain Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, masih terdapat beberapa kebudayaan dan kepercayaan lain yang juga lahir di wilayah Asia, antara lain Zoroastrianisme, Taoisme, Shinto, dan mungkin masih ada beberapa yang lain yang tidak sempat saya baca. Namun mengapa di antara banyak keyakinan yang berkembang, yang masuk di wilayah Nusantara hanya Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan Konghucu (konfusianisme)? Jawabannya kontak sosial.

Taoisme, dan Shinto lahir di Asia bagian utara, yakni di wilayah Cina bagian utara, Mongolia, dan Jepang saat ini. Sedangkan Zoroastrianisme muncul di wilayah Persia (Irak dan Iran), tetapi dalam sejarahnya tergantikan oleh Islam ketika pedagang Persia mulai singgah di kepulauan Nusantara. Pada umumnya, paham yang masuk di wilayah Nusantara ialah paham yang juga berkembang pada negara-negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, seperti Persia, Arab, dan Gujarat (India).

Hal ini dimungkinkan karena pada masa itu masih banyak wilayah daratan yang belum terbuka dan dijangkau oleh manusia, sehingga praktis kontak sosial dan jalur-jalur transportasi sangat terbatas. Asia daratan dan Eropa terhubung oleh jalur perdagangan yang dikenal dengan Jalur Sutera. Sementara mengingat Nusantara ialah daerah kepulauan yang dipisahkan oleh laut, maka proses kontak sosial lebih mungkin terjadi dengan negara-negara dan wilayah maritim yang memiliki pengetahuan kelautan dan pelayaran yang juga lebih maju.

Sebenarnya, menurut sejarah Kristen dan Gereja sendiri, diceritakan bahwa dua orang murid Yesus, Thomas dan Bartolomeus mengabarkan Injil hingga ke wilayah India pada abad pertama. Beberapa sumber menyebutkan kisah ini hanya mitos yang sebagian ceritanya tersamar sebagai legenda lokal hingga hari ini. Namun beberapa sumber lain mengajukan bukti sahih yang menyatakan bahwa kejadian ini nyata. Jika benar, maka benih-benih kekristenan sejatinya sudah muncul di Asia bagian selatan (Pakistan dan India saat ini) di sekitar tahun 50-60 M.

3. Dualisme Negara-Agama

Menurut hemat saya, penyebutan kerajaan Hindu, Budha, maupun Islam sendiri merupakan suatu kerancuan, mengingat dua nama tersebut menyatakan subjek yang berbeda. Kerajaan merupakan bentuk pemerintahan, sementara Hindu, Budha, dan Islam ialah agama dan keyakinan. Bagi saya, lebih tepat menyebutnya kerajaan yang dipimpin oleh orang Hindu atau orang Budha. Islam mengandung pengecualian karena di dalam ajarannya (menurut yang saya pernah dengar) dijelaskan pula tentang tatanan pemerintahan sehingga bentuk negara Kesultanan sangat terkait dengan ajaran Islam itu sendiri.

Sumber: Unsplash.

Hal yang sama terjadi di Eropa. Meski di milenium awal terdapat banyak sistem monarki yang digunakan negara-negara Eropa, mengapa kita jarang mendengar istilah ‘kerajaan Kristen’? Berdasar analisis dan pengetahuan saya yang sekadarnya, hal ini disebabkan sedari awal berdirinya, kekristenan memisahkan struktur pemerintahan dengan struktur religi. Dalam perkembangan Kristen, umat dipimpin oleh seorang pemimpin jemaat di setiap daerah yang disebut uskup. Secara hierarkis, uskup mempertanggungjawabkan daerah yang diembannya dalam tataran yang lebih besar dan di atas itu semua terdapat seorang pemimpin tunggal yang dikenal dengan sebutan Sri Paus. Sri Paus tidak memiliki kekuatan politik dan militer seperti pemimpin negara pada umumnya. Sri Paus hanya menjadi simbol pemimpin spiritual dari umat Kristiani, tanpa memiliki andil terhadap kondisi sosial politik dari negara tempat jemaat itu berada.

Mari kita coba bandingkan dengan peran keyakinan lain dalam tata pemerintahan. Dalam kerajaan Hindu, golongan bangsawan dan raja diakomodasi dalam sistem kasta yang disebut Ksatria. Tentunya dalam golongan tersebut terdapat pula tanggung jawab agamis yang wajib diemban selain tanggung jawabnya sebagai pemangku kekuasaan – dengan kata lain, tanggung jawab spiritual dan politik pemerintahan diemban oleh figur yang sama. Pada kesultanan Islam, tak jarang Sultan digambarkan pula sebagai pemimpin spiritual bangsanya. Interaksi antara Sultan dengan para alim ulama suatu kerajaan juga tak jarang terkait dengan hubungan politik dan pemerintahan. Kerajaan Budha menjadi pengecualian, karena saya belum berkesempatan menemukan sumber yang baik dan detail sehingga belum bisa tergambar dalam benak saya seperti apa kehidupan politik dan religi yang terbangun. Namun hakikatnya sama, kerajaan-kerajaan berlabel agama yang dipelajari di sekolah-sekolah hari ini merupakan negara yang tidak memisahkan antara agama, keyakinan, kebudayaan, dengan perpolitikan.

4. Kristen, Katolik, atau Protestan?

Kekristenan memang lahir pada abad pertama Masehi. Namun jangan lupa bahwa Protestan ialah paham ‘muda’ yang baru lahir tepat 500 tahun yang lalu, pada tahun 1518. Peristiwa ini tentu menyesakkan dan menyakitkan bagi kedua belah pihak. Konon pasca kejadian ini masih baru-baru terjadi, muncul cekcok yang besar antar kedua kubu – wajar. Sebagai denominasi (aliran) yang baru saja terlahir, tentu penguatan paham dan dasar menjadi agenda utama para penggagas reformasi Gereja. Praktis, penginjilan tidak menjadi agenda utama mengingat banyak pikiran dan tenaga yang harus dicurahkan untuk membangun kembali jemaat, seraya ‘berkompetisi’ dengan ‘Gereja sebelah’, baik dari perspektif Protestan maupun Katolik.

Mengacu pada hipotesis waktu kelahiran, kekristenan memang diprediksi tiba di Indonesia antara tahun 800-1100, dengan catatan progress yang dihasilkan linear. Sedangkan jika kita menganggap Protestan dan Katolik ‘terlahir kembali’ pada tahun 1500, maka diprediksi meraka baru akan tiba di wilayah Nusantara 100-200 tahun kemudian. Di masa tersebut, VOC (Belanda) dan EIC (Inggris) sudah terlebih dahulu tiba di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan memang itulah yang terjadi pada misionaris dan zending (penginjil Protestan Belanda) ketika tiba di Nusantara. Maka tak heran jika sampai saat ini perspektif Kristen dibawa ke Indonesia oleh penjajah masih melekat. Padahal, meski sama-sama berkulit putih ada yang tentara, ada yang politisi, ada yang pedagang, tetapi juga ada misionaris dan rohaniwan.

5. Historiografi

Sumber: Unsplash.

Saya tidak mau berkonspirasi, tetapi ada pepatah bahwa “sejarah selalu ditulis oleh bangsa pemenang”. Mari lihat Adolf Hitler dan Winston Churchill, mana yang jahat? Saya yakin setiap orang akan menyebut Hitler sebagai tokoh utama dalam kancah kejahatan dunia. Mengapa? Karena Inggris dan sekutu menang perang. Andai terjadi sebaliknya, mungkin Churchill akan lebih dikenal sebagai penjahat perang dengan pembantaian Jaillanwala maupun beberapa pembunuhan lain di wilayah India.

Saat Indonesia merdeka, seluruh Gubernur Jenderal Belanda dianggap sebagai penjahat kelas kakap. Andai terjadi sebaliknya, mungkin Soekarno dan kawan-kawanlah yang akan dikenal sebagai pemberontak kelas kakap. Mengingat identifikasi misionaris bangsa Eropa dengan penjajah, dimungkinkan penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan hari-hari ini disesuaikan secara subjektif terhadap kondisi perpolitikan yang terjadi.

Konon, menurut catatan Marco Polo – catatan yang sama yang membuktikan keberadaan kerajaan Samudera Pasai, Aceh, dan Sriwijaya – di sana ia menuliskan keberadaan pemukiman dan kelompok Nasrani yang mendiami pantai barat dan selatan Sumatera di abad ke-13. Saya sendiri belum pernah membaca isi catatan itu, jadi siapa yang tahu? Namun kembali mengacu hipotesis waktu kelahiran, tentu saja hal tersebut sangat berpotensi benar – terlepas dari corak kekristenannya, yang dimungkinkan berpadu dengan budaya lokal dan sinkretisme (sangat berpotensi bukan Protestan maupun Katolik). Lalu mengapa hal ini tidak dituliskan dan diajarkan di sekolah-sekolah? Ya begitu.


Dari sudut pandang saya, itu saja yang dapat diberikan untuk kali ini. Tidak menutup kemungkinan bagi rekan-rekan pembaca untuk terlibat dalam kolom komentar untuk memberikan pendapat lebih lanjut, terkhusus bagi rekan-rekan yang memang berkecimpung dalam dunia sejarah. Setidaknya, semoga artikel ini berguna dan memberikan inspirasi!

Tetap berkarya!

5 komentar pada “Mengapa Tidak Ada Kerajaan Kristen di Indonesia?”

  1. Menurut kamu tidak ada kerajaan kristen
    Sebenarnya ada tetapi nyaris dilupakan sejarah yaitu kerajaan larantuka yang berdiri sesudah majapahit runtuh

    Syalom tuhan memberkati

    Suka

    1. Ya benar, Larantuka Kerajaan Kristen Katolik dan sentuhan budaya Portugal cukup kental. Hanya saja memang tidak diulas dalam panggung sejarah Indonesia; hemat saya, tidak menutup kemungkinan ada kerajaan lain yang masih belum diketahui keberadaannya atau sudah ditemukan tetapi tidak dipublikasikan.

      Suka

      1. Terus kerajaan larantuka, kerajaan siau dan kerajaan menado dikemanakan?
        Dan banyak kerajaan kecil lainnya di pulau samosir.

        Buat artikel itu jgn membodohin org lain, kalau mau bodoh ya bodoh sendiri saja, ok 👌

        Suka

Tinggalkan komentar