Gengsi, Penyebab Darurat Regenerasi Petani?

Cuplikan berita yang diunggah salah satu kantor berita swasta di Indonesia tersebut menyinggung masalah minimnya jumlah petani muda di Indonesia. Dalam berita tersebut, dilansir sebanyak 65% petani Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara yang berusia di bawah 35 tahun hanya pada angka 10%. Hal ini mengkhawatirkan, tetapi sekaligus membuka peluang yang besar bagi sebagian pihak.

Banyak petani mengisahkan bagaimana anak dan cucu mereka sudah enggan turun ke sawah serta ladang untuk sekadar membantu. Rata-rata menuju ke kota, bekerja di balik kungkungan beton yang tak terkena terik mentari. Sebagian lain, yang memiliki nasib lebih baik, melanjutkan studi hingga jenjang yang tinggi, lalu masuk kolom berita jika berhasil lulus dengan predikat baik. Hanya anak petani tetapi luar biasa — demikian perspektif yang umumnya dipaparkan media.

Praktis, bukan tidak mungkin jika dalam satu hingga dua dekade mendatang, kepemilikan lahan menjadi masalah awal yang akan muncul. Para orang tua yang sudah tidak mampu lagi menggarap sawah dan ladang miliknya, akan menimbang bahwa menjualnya adalah keputusan terbaik. Hitung-hitung sebagai dana pensiun setelah bekerja sekian lama. Melalui kesempatan inilah, para pemilik dana akan beraksi. Di masa berikutnya, kita tidak tahu apakah tanah tersebut masih menjadi lahan pertanian atau beralih fungsi.

Alih fungsi lahan bakal menjadi ancaman bagi dunia pakan Indonesia, terlebih jika hasil bumi yang masih ada tidak diolah dan diregulasi dengan baik. Pasokan bisa menjadi tidak mencukupi, alhasil harga melonjak dan berbalik menekan rakyat kecil. Namun tidak mengalihfungsikan juga masih bisa menjadi ancaman. Kehadiran penguasa tanah dengan modal super bisa menggaungkan kembali semangat kapitalisme pertanian. Cultuur stelsel.

Apa penyebab semua ini? Sebagai generasi milenial, saya tumbuh dalam ajaran orang tua yang selalu menanamkan pada diri saya untuk menjadi orang besar dengan pekerjaan yang ‘bersih’. Bersih yang dimaksud ialah pekerjaan kantoran, tidak kepanasan dan kehujanan. Terlebih masa kecil saya dihabiskan di daerah pedesaan, yang masih dikelilingi wilayah persawahan. Ketika itu, di benak saya, — entah diajarkan secara sengaja oleh kedua orang tua saya atau tidak — petani selalu identik dengan orang kecil, orang melarat, orang yang pekerjaannya susah tetapi bayarannya sedikit. Itulah mengapa, petani sama sekali tidak muncul sebagai opsi masa depan saya.

Bisa jadi, apa yang saya alami juga tertanam pada diri orang-orang lain yang satu generasi dengan saya, generasi yang sekarang memasuki usia produktif. Banyak di antara kami mungkin merasa bahwa penghasilan kecil tetapi memiliki pekerjaan bersih dan gaji tetap jauh lebih baik ketimbang menjadi saudagar beras. Duduk di kantor, minum kopi bersama teman, menghadiri rapat di pagi hari, terasa begitu prestis ketimbang harus membawa traktor ke lahan, atau menyiapkan bibit yang akan ditanam. Walau pada kenyataannya, nilai rupiah yang lahir lewat ladang maupun gedung tetaplah sama. Seribu tetaplah seribu, satu milyar tetaplah satu milyar. Pembedanya, gengsi.

random171
Petani Indonesia. | Sumber: Aktual.

Gengsi doang? Tunggu. Jangan pernah remehkan gengsi. Gengsi dapat membuat seseorang melupakan impiannya, gengsi pula yang menyebabkan banyak anak muda melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan, menghalalkan segala cara. Apa saya pernah termakan gengsi? Tentu, dan membekas.

Akhir-akhir ini, saya dibuat gundah dan jengah dengan pekerjaan serabutan saya sebagai guru privat dan staff di sebuah orkestra profesional. Saya tidak pernah menganggap diri saya sedang bekerja. Karena bayangan saya, bekerja adalah berada di kantor dengan jam dan gaji yang statis. Perasaan itu perlahan sirna setelah mengetahui bahwa beberapa teman yang bekerja kantoran memiliki pendapatan yang tidak jauh berbeda dengan saya, ada pula yang lebih sedikit di bawah saya. Apa yang menyebabkan saya risau dengan kondisi saya? Gengsi.

Lalu apa yang perlu dilakukan oleh kita, agar anak muda kembali berbondong-bondong mau terlibat dalam dunia pertanian Indonesia? Rasanya tidak ada obat yang cespleng untuk kasus ini. Setidaknya mari kita mulai dengan menanamkan pemahaman pada generasi muda kita — anak, cucu, sepupu, kemenakan — untuk menghargai setiap mata pencaharian. Jangan meremehkan impian anak-anak yang ingin menjadi peternak lele, petani kol, atau gembala kambing, semua impian baik. Berikan dorongan bahwa kesuksesan ditentukan oleh kerja keras, bukan jenis pekerjaannya. Seorang petani yang bekerja keras akan sama suksesnya dengan seorang karyawan yang bekerja keras.

Selain itu? Setidaknya, hargai setiap jenis makanan yang terhidang di depan kita. Ketahuilah bahwa butuh perjuangan banyak orang dan perjalanan panjang untuk menghidangkan sepiring makanan. Memang apa hubungannya dengan regenerasi petani? Agar setiap anak muda yang memiliki cita-cita petani, niatnya tidak menjadi surut saat tahu bahwa kerja kerasnya kelak akan dihargai. Siapa tahu anak muda itu ada di sekeliling kita bukan? Mari selalu tebarkan hal-hal positif untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi.

Jayalah pertanian Indonesia!

Tinggalkan komentar